Sampai akhirnya langkah kakiku terhenti setelah mendengar sesuatu yang membuat mataku terbelalak, juga membuat jantungku secara tiba-tiba berdebar kencang.
"Reno!" aku terkejut setelah melihatnya sedang berjalan menghampiriku dengan mengesot, menyeret kakinya di jalan. Ia jatuh dari kursi roda karena terlalu cepat menjalankannya hanya untuk mengejarku. Ternyata benar, dia..
"Karin, maafkan aku!" ucapnya yang sudah berjalan sampai di tengah jalan, setengah lagi tibasampai di tempatku berdiri, di tepi seberang jalan.
Aku yang empati melihat Reno seperti itu pun berjalan menuju di mana ia berada. Namun, sebelum itu suara klakson mobil yang memberitahu bahwa Reno harus pergi dari tempatnya sudah terdengar sangat keras karena keberadaannya di jalan dengan keadaan yang seperti itu membahayakan dirinya.
"RENO AWAS!" aku memberitahunya untuk segera pergi walau sebenarnya ia sudah tahu akan hal itu, juga sudah berusaha menepi ke jalan tapi terlalu lambat dengan cara jalannya yang seperti itu.
Entah apa yang dilakukan sang pengemudi tersebut, mobilnya itu terus melaju menuju Reno tanpa mau berhenti sejenak memberi waktu padanya untuk ke tepi jalan. Aku langsung berlari ke tengah jalan untuk segera menolong Reno.
"Aaaaaaaaaa!" aku berteriak sambil memejamkan mata karena tak mau melihat kejadian ini berlangsung ketika mencoba membawa Reno ke tempat aman. Aku tak tahu apakah berhasil atau tidak menolongnya karena mataku masih tetap terpejam, yang jelas aku sudah berusaha menolongnya.
 "Terima kasih, ya, sudah menolongku."
Detak jantungku yang sedang berdebar kencang perlahan-lahan menurun setelah mendengar suara Reno yang mengatakan itu. Perlahan-lahan aku membuka mata, mendapati Reno sedang tersenyum di depanku. "Reno, kamu gak apa-apa, kan?" aku bertanya sambil memeriksa dirinya terdapat luka atau tidak.
"Gak apa-apa, kok. Sekali lagi terima kasih, ya, sudah menolongku." jawabnya kembali tersenyum padaku.
"Jadi, kamu benar butuh kursi roda untuk berjalan?"
"Iya, sekarang aku butuh kursi roda untuk berjalan."
"Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?"
"Aku sakit karena rindu dan terus mikirin kamu. Hahaha"
"Reno serius, jangan bercanda!"
"Gak penting hal apa yang sudah terjadi denganku. Karin, kamu masih mau, kan, menjadi pengisi hatiku?"
"Iya mau.. Aku masih mau menjadi pengisi hatimu!"
"Yakin.. Gak malu punya pacar cacat kaya aku?"
Aku membelalakan mata padanya setelah ia berkata demikian, sama seperti waktu ketika ia berhasil membohongiku tentang keadaannya yang sebenarnya. Apa dia kini kembali lagi berbohong? Kali ini dia tidak boleh berhasil membohongiku, aku yakin dia sedang berbohong dan berpura-pura lagi.
"Reno, kamu lagi gak berbohong dan berpura-pura lagi, kan?" aku bertanya sambil menatapnya serius.
"Berbohong dan berpura-pura lagi bagaimana?" Reno menjawab kebingungan.
"Iya, pasti ini semua sudah kamu rencanakan, kan?"
"Jadi, kamu gak mau punya pacar yang cacat kaya aku?"
Aku bangkit dan pergi meninggalkan Reno yang masih duduk di jalan karena kesal sudah merasa terbohongi olehnya.
"Karin, tunggu!" Reno memanggilku.
"Dengarkan aku dulu!" tambahnya.
"Aku gak mau mendengarkan apapun lagi dari kamu. Aku kecewa sama kamu!" aku menjawab sambil terus berjalan.
"Karin, kali ini Reno benar lagi gak berpura-pura!" aku menghentikan langkahku setelah mendengar kalimat tersebut. Suara itu? Abi! Ternyata benar.. Itu Abi dan ia sudah membantu Reno kembali duduk di kursi rodanya. Tapi, kenapa dia bisa ada di sini? Dari mana dia tahu kami di sini?
"Abi, sudah jangan membantu Reno untuk membohongiku seperti ini. Aku tahu kalian berdua sedang membohongiku!" aku berkata masih di tempatku berdiri.
"Karin, kamu boleh gak percaya dengan Reno, tapi harus percaya denganku." Abi mendorong Reno menghampiriku.
"Reno mengalami kecelakaan ketika sedang membeli sesuatu untuk diberikan ke kamu saat nanti kalian bertemu. Tapi, belum sempat membelinya ia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kakinya gak bisa berjalan lagi." Abi menjelaskan apa yang telah terjadi pada Reno yang membuatku merasa bersalah karena terus menuduhnya membohongiku.
Aku langsung menghampiri Reno dengan mata yang berkaca-kaca, lalu memeluknya yang tengah duduk di kursi roda sambil berkata. "Maafkan aku Reno sudah terus menuduhmu membohongiku."
"Gak apa-apa Karin. Sekarang kamu percaya, kan, sama aku?" Reno menjawab sambil mengelus rambutku.
"Iya, aku percaya sama kamu. Sangat percaya!" aku melepas pelukanku dari tubuhnya.
"Jangan menangis, Karin!" Reno menghapus air mataku. Aku tersenyum lebar padanya.
"Nah.. Gitu, dong. Jangan bertengkar terus!" tukas Abi yang ada di belakang Reno yang membuat kami tertawa.
"Karin, kamu masih mau, kan, menjadi pengisi hatiku?" Reno kembali mengatakan itu sambil menggenggam tanganku.
"Iya Reno, iya aku mau menjadi pengisi hatimu!" aku menjawab dengan senyuman.
"Yakin.. Gak malu punya pacar yang cacat kaya aku?" Reno pun mengulang kalimat itu.
"Memangnya jawabanku gak meyakinkan, ya?" aku berbalik tanya padanya.
Reno tersenyum. Ia kembali memelukku. Pelukannya erat sekali. Kami saling melepas pelukan setelah semenit lamanya kami berpelukan.
"Kamu, sih, jail. Ada acara pura-pura segala. Jadinya beneran, kan. Untung aja kamu pura-pura gak bisa berjalan, coba kalau gak bisa melihat, kamu pasti gak bisa melihat aku sekarang."
"Hehehe, aku ingin beda aja dari yang lain. Aku juga gak menyangka akan menjadi seperti ini. Jika aku gak bisa melihat sekarang, aku masih tetap bisa melihat wajahmu yang cantik itu dengan hatiku."
"Ah.. Gombal!"
"He he he"
"Ah.. Sudah, dong. Jangan buat aku cemburu." Abi membuka mulut melihat aku dan Reno bercakap-cakap tadi.
"He he he" aku dan Reno tertawa.
"Karin, kamu mau balik ke tempat tadi?" tanya Reno yang mengungkit kembali tempat tersebut yang gagal menjadi tempat untuk melepas rindu kami.
"Mau Reno, mau!" jawabku.
"Jadi, Karin aja, nih, yang diajak?" Abi ikut bersuara.
"Kamu juga, Abi." kata Reno.
"Pokoknya kamu harus.."
"Traktir makan kamu malam ini? Iya, aku traktir kamu. Tenang aja!" Reno memotong ucapan Abi yang sudah ia ketahui apa yang akan Abi katakan.
"Kamu, kok, tahu, sih?"
"Tahulah, pikiranmu, tuh, makanan terus."