Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

I Love You My Brother (Part 10)

10 Desember 2022   00:00 Diperbarui: 28 Februari 2024   10:16 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oh, ternyata aku masih hidup. Ada sesuatu yang masuk ke dalam lubang hidungku yang membuatku bisa bernapas dengan baik lagi. Aku masih bisa mendengar suara ibu yang sedang berbicara dengan ayah di sampingku.

Aku masih bisa merasakan hangatnya sentuhan tangan ibu yang sedang mengelus lembut punggung tanganku yang terasa sakit karena ada sesuatu yang menusuk dan menempel di atasnya. Terima kasih Tuhan, Engkau masih memberi kesempatan padaku untuk memperbaiki diriku. Ibu, ayah aku menyayangi kalian.

Tiga hari kemudian, kondisiku berangsur-angsur membaik. Aku juga sudah bisa merelakan kepergian kakak dariku dan dari kita semua. Ibu benar, aku harus tetap hidup. Aku masih punya masa depan dan cita-cita, aku tidak bisa terus menerus terpuruk dalam kesedihan seperti ini.

Di dalam kamarnya masih terlihat rapi meski sudah lama tidak ditempati dan tidak dirapikan. Aku berusaha untuk menguatkan diriku agar tidak menangis lagi. Tapi sayang, usahaku gagal.

Baca juga: Reno

Aku kembali menangis setelah melihat foto-fotonya banyak yang terpajang di dinding kamarnya, melihat baju-bajunya yang masih terlipat rapi di dalam lemarinya, dan melihat apapun itu yang berhubungan dengannya yang ada di dalam kamarnya. Oh, kakak, aku merindukanmu.

Aku mengambil satu dari baju-bajunya itu. Aku mencium dan memeluknya untuk bisa menghilangkan rasa rindu ini. Setelah itu aku perhatikan satu persatu foto-fotonya yang ada di dinding kamarnya yang kembali mengundang air mataku.

Ada salah satu foto yang membuat mataku tertuju untuk melihatnya, foto yang ada di atas meja belajarnya. Aku mengambil fotonya dan duduk di bangku yang ada di depan meja belajarnya. Foto itu? Foto saat kita tampil di atas panggung sekolah, foto saat aku memeluknya dari belakang.

Saat itu, ada lomba bernyanyi dengan saudara masing-masing, baik itu kakak ataupun adik untuk merayakan hari ulang tahun sekolah. Jika ia tidak mempunyai saudara di sekolah bisa dengan teman sekelasnya atau dengan siapapun yang ada di sekolah. By the way, di sekolahku kebanyakan muridnya kakak beradik, jadinya diadakan lomba seperti itu.

Aku memilih tampil berdua dengan kakak meski ia sudah menyuruhku untuk tampil dengan temanku. Ia tahu pasti aku akan malu jika tampil berdua dengannya. Dulu aku memang malu untuk mengakuinya sebagai kakakku, tapi aku sadar, sikapku salah jika begitu. Dia kakakku, dia saudaraku yang sangat menyayangiku dan yang aku sayangi, dia juga adalah orang yang sangat berarti dalam hidupku.

Saat aku dan kakak tiba di atas panggung, semua warga sekolah yang menjadi penonton terheran-heran melihat kami. Mereka berbisik-bisik satu sama lain membicarakan kami. Mereka pasti tidak menyangka melihat kami berdua di atas panggung ternyata kakak beradik, tapi mereka tidak bisa memungkirinya. Wajah kami terlihat hampir mirip dari bawah tempat duduk mereka, dan nama belakang yang tertera pada dada sebelah kanan kami sama.

Aku sempat meminta kakak untuk membatalkan mengikuti lomba itu karena melihat pandangan mereka yang memandang remeh kami, ditambah dengan suaraku yang tidak terlalu bagus membuatku malu untuk tampil. Tapi kakak selalu menyemangatiku, ia yakin aku bisa tampil dan bernyanyi dengan baik. Kakak saja yakin, kenapa aku tidak?

Dengan tangan bergetar sambil memegang mike, ditambah dengan detak jantungku yang tidak berhenti berdebar, juga tubuhku yang terasa dingin dan lemas aku mulai memberanikan diri untuk membuka suara.

Yang lain memang sempat meremehkan kakak saat tiba di atas panggung sambil membawa gitar yang dipangkunya itu sebagai pengiring musik dari lagu yang akan aku nyanyikan, tapi ketika ia mulai memetik senar gitarnya dan menghasil alunan nada yang indah, semuanya terkesiap, kagum dengan permainan gitarnya itu yang juga membuatku menjadi lebih percaya diri dan menghilangkan semua rasa negatif yang sedang aku rasakan.

 Yang ada timbul rasa percaya diri dan bangga dengannya karena sudah memberikan yang terbaik. Membuktikan kepada semuanya, terutama kepadaku sebagai adiknya bahwa ia bisa melakukan hal yang membuat orang lain bangga meski kondisinya yang seperti itu. Tanpa ada rasa malu, aku memeluknya ketika kami selesai tampil. Dan saat itu juga, penonton memberikan tepuk tangannya kepada kami karena kagum melihat penampilan kami.

Saat pengumuman pemenang lomba itu diumumkan, ternyata aku dan kakaklah yang menjadi juaranya. Kami warga sekolah berfoto mengabadikan saat-saat itu, saat di mana yang membuat hubungan aku dan kakak beserta yang lain menjadi lebih baik.

Aku merasakan kebahagiaan yang benar-benar berasal dari dalam hatiku, karena aku sudah bisa menyayangi kakak dengan tulus dari dalam hatiku. Tapi sekarang, semua itu hanyalah tinggal kenangan. Kenangan yang membuatku ingin kembali ke masa-masa itu, ke masa di mana aku dan kakak masih bersama tertawa bahagia.

Setelah memandangi foto itu, aku kembali menaruhnya di tempat asalnya. Aku juga kembali memperhatikan di sekeliling meja belajarnya. Ada sesuatu buku seperti diary yang terselip di antara buku-buku pelajaran kakak yang membuatku penasaran untuk melihatnya.

Aku mengambil buku itu dan langsung membukannya.

Kosong. Itulah isinya setelahku membuka setiap halamannya. Tapi, ketika di beberapa halaman terakhir, ada tulisan tangannya yang sangat bagus dan rapi. Aku tidak tahu kapan ia menulisnya, karena ia tidak mencantumkan tanggal ditulisannya itu.

Berlanjut...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun