"Enggak! Aku gak akan maafin kalian! Kalian orang jahat! Aku benci sama kalian!" kataku yang masih enggan menerima permintaan maaf mereka.
Mendengar perkataanku yang seperti itu, ibu menegurku. "Vita, gak baik bicara seperti itu. Mereka, kan, sudah meminta maaf, kenapa kamu gak maafin mereka?"
"Ibu gak tahu gimana sikap mereka ke kakak saat di sekolah. Mereka udah jahat sama kakak, Bu. Mereka tega memperlakukan kakak yang gak baik, padahal kakak gak pernah jahat sama mereka." Aku menjelaskan pada ibu bagaimana sikap mereka yang selalu mereka lakukan ke kakak, agar ibu tahu sikap buruknya itu pada kakak.
Mengingat-ingat sikap mereka ke kakak, tangisku semakin menjadi-jadi. Meski semua itu sudah terjadi, aku benar-benar tidak rela jika kakakku mendapat perilaku seperti itu dari mereka atau dari siapapun.
"Sudah, Vita, sudah. Semua sudah terjadi. Kakak pasti gak mau melihat kamu menjadi seseorang yang pedendam seperti ini." Â ucap ibu yang menenangkanku.
"Iya, ibu benar sayang. Semua orang pasti pernah berbuat salah. Kita sebagai manusia harus bisa saling memaafkan." tambah ayah menasehatiku.
"Tapi mereka udah jahat sama kakak, Bu, Yah. Mereka udah.."
Sebelum aku melanjutkan perkataanku itu, tiba-tiba dadaku sesak karena berbicara sambil terlalu banyak menangis. Aku menjadi tak sadarkan diri karena kesulitan bernafas.
Saatku sadar, lagi dan lagi aku sudah berada di dalam kamar dan hari sudah malam. Mataku terasa perih dan pegal karena dari kemarin aku selalu menangis. Tidak lama kemudian, ibu datang ke kamar sambil membawa sepiring nasi untukku. Sudah tiga hari ini aku tidak makan sedikit pun. Aku hanya bisa menangisi kepergian kakak dari kami semua.
"Sayang, makan ya. Udah, jangan nangis terus." Ibu mencoba memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutku.
"Enggak, Bu," tolakku sambil menggelengkan kepala.