Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

I Love You My Brother (Part 8)

7 Desember 2022   00:00 Diperbarui: 28 Februari 2024   10:13 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saatku sadar hari sudah malam dan aku berada di dalam kamarku. Berarti kakak? Aku kembali menangis. Tangisku mengundang ibu untuk datang ke kamar. Ibu kembali menenangkanku, berharap aku bisa tenang setelah ditenangkan olehnya. Tapi, lagi dan lagi aku tidak bisa tenang.

Aku masih tidak rela kakak pergi dariku, padahal ia baru saja dinyatakan lulus dari SMA. Ia belum berkuliah, ia belum meraih cita-citanya, dan pasti ia juga belum merasakan kebahagiaannya yang sesungguhnya.

Selain menenangkanku, ibu juga menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi pada kakak yang membuatnya pergi meninggalkan kami semua. Sambil mendekapku Ibu berkata...

"Sepulang dari sekolah kemarin, kakak meminta ibu untuk menemaninya membeli ice cream di toko ice cream yang biasa kalian datangi. Kakak mau membelikan ice cream buat kamu. Sudah lama ia tidak makan ice cream berdua kamu semenjak kecelakaan yang mengakibatkan kamu menjadi tidak bisa melihat dan tidak bersekolah.

Karena kelamaan menunggu ibu yang sedang mengobrol bersama ibu-ibu temannya, kakak berangkat sendiri ke sana. Ibu tidak tahu kalau kakak akan berangkat sendiri. Ketika di perjalanan pulang dari sana untuk kembali lagi ke ibu, tidak sengaja kakak menabrak batu yang membuatnya terjatuh dari kursi rodanya.

Kakak berusaha untuk kembali duduk di kursinya, tapi usaha kakak gagal, dia terlalu lemah. Kakak panik, karena kakak tidak bisa berbuat apa-apa, ia tidak tahu harus meminta bantuan dengan siapa. Kalau ibu tahu kakak seperti itu, ibu akan menolongnya, tapi sayangnya ibu tidak tahu.

Sampai akhirnya ada sebuah mobil yang berlalu dengan kencang menuju ke arahnya dan menabrak kakak sampai terpental jauh, ice cream yang sedang dibawanya juga ikut terpental dengannya. Kakak langsung dibawa ke rumah sakit.

Kakak kehilangan banyak darah, sementara stok darah yang ada di rumah sakit saat itu masih kurang untuk menolong kakak. Dokter sudah berusaha mencarikan golongan darah yang sama dengan kakak, namun masih kurang. Kalau bisa, ibu yang akan mendonorkan darah ibu buat kakak, sayangnya ibu tidak bisa. Ibu ingat bahwa kamu dan kakak golongan darahnya sama, ibu berniat mau memberitahu masalah ini ke kamu, tapi kakak melarang ibu. Kakak terlalu sayang sama kamu, ia tidak mau darah kamu diambil untuknya. Sampai beberapa jam berlalu, napas kakak perlahan-lahan memberat. Kakak kesulitan bernapas meski sudah pakai alat yang membantunya bernafas.

Ibu menyuruh kakak kuat untuk bertahan, tapi kakak tidak kuat lagi, sampai akhirnya kakak pergi meninggalkan kami. Sebelum kakak pegi, kakak sempat mengatakan pada ibu bahwa ia sayang sama kamu, ibu dan ayah. Ia juga mau memberikan matanya buat kamu, karena kakak mau kamu bisa melihat lagi."

Begitulah kata-kata ibu yang menceritakan apa yang telah terjadi sebenarnya. Yang membuat tangisku semakin menjadi-jadi, yang membuat aku merasa bersalah atas apa yang telah ku perbuat padanya sebelumnya.

Ternyata kakak adalah orang yang sudah memberikan matanya untukku, untuk adik yang selalu memaki-makinya setiap kali meminta bantuan, dan adik yang pernah tidak mengakuinya sebagai kakakku di depan teman-temanku karena kondisinya itu ternyata sangat menyayangiku, bahkan rela memberikan matanya untukku.

Kalau aku tahu orang yang mendonorkan matanya untukku adalah kakak, aku tidak akan mau menerimanya. Aku rela jika harus selamanya hidup dalam kegelapan, asalkan aku tetap bersamanya. Dan aku rela seluruh darahku diambil untuknya, asalkan ia akan tetap hidup di dunia ini bersama orang-orang yang disayanginya.

"Kakak, maafkan aku.."

Berlanjut...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun