Ayah dan ibu langsung mengajakku untuk menemui kakak. Langkah kami terhenti ketika sampai di ruang yang menakutkan, ruangan untuk orang yang sudah meninggal, atau yang disebut dengan ruang jenazah. Hatiku bertanya-tanya. Kenapa ayah dan ibu mengajakku ke sini? Lalu, di mana kakak?
"Yah, kenapa kita ke sini?" tanyaku yang kebingungan diajak mereka ke sini.
"Katanya kamu mau lihat kakak, kakak ada di dalam." jawab ayah.
Mataku terbelalak dan seketika jantungku berdebar kencang setelah mendengar jawaban ayah yang mengatakan hal demikian. Apa maksud ayah? Sebenarnya kakak di mana? Bukannya kakak sedang sakit? Kalau dia dirawat pun bukan di ruangan itu!
"Ayah becanda, kan? Maksud ayah apa?" Aku kembali bertanya dengan perasaan panik, namun ayah tidak menjawab. Di sisi lain tangis ibu semakin menjadi-jadi. Apa maksud semua ini? Jangan-jangan kakak? Tidak! Tidak mungkin!
Aku langsung membuka pintu ruangan itu dan masuk karena penasaran dengan orang yang ada di dalamnya. Jantungku kembali berdebar setelah mendapati seseorang sedang terbaring dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar, perlahan-lahan aku membuka kain putih yang menutupi wajahnya untuk memastikan orang itu bukan kakak.
Ketika baru terlihat rambutnya, aku kembali menutupnya karena takut pikiranku benar terjadi bahwa orang ini adalah kakak. Tapi aku membuang jauh-jauh pikiran itu dan kembali membukanya. Berharap orang ini bukan kakak, melainkan orang lain. Namun, ketika sudah terbuka semua, ternyata benar orang itu adalah kakak. Hancur hatiku, tangisku pecah ketika melihatnya sedang tertidur dengan tenang.
"Kakak bangun! Ini aku, Kak, Vita adik kakak. Buka mata kakak! Lihat, aku uudah bisa melihat lagi! Bangun, Kak, bangun!" aku berkata sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya yang kaku dan dingin. Berharap ia bangun dan membuka matanya, berharap semua ini hanya tindak leluconnya saja.
Namun, sudah berkali-kali aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, ia tetap tidak bergerak dan tetap tidak bangun untuk membuka matanya. Tubuhku lemas, kakiku tidak mampu menahan tubuhku. Aku terjatuh dan menangis sejadi-jadinya. Melihatku yang menangis seperti itu, ibu dan ayah menghampiriku, menenangkanku di dalam pelukannya.
"Sabar sayang, sabar." ucap ibu yang menenangkanku sambil menangis sepertiku. ibu pasti lebih terpukul dariku.
Anak laki-laki yang ia banggakan, yang sudah ia kandung selama sembilan bulan, dan sudah merawatnya sampai besar pergi meninggalkannya. Tapi ibu punya kesempatan untuk berbicara dengan kakak sebelum ia pergi, sedangkan aku, aku sama sekali tidak punya kesempatan itu.