Aku ke luar kamar untuk menuju kamar kakak. Kamarnya tidak jauh dari kamarku, hanya beberapa langkah saja. Ia pernah bilang, kalau mau ke kamarnya cukup berjalan sambil berpegangan dinding saja, tidak seperti saat aku ke dapur, ke meja makan, atau keluar rumah.
     Ketika sampai aku langsung mengetuk pintunya, namun sudah tiga kali ketukan akak tidak juga membukakan pintu, dan panggilanku pun tidak dijawab olehnya. Aku mencoba membuka pintu kamarnya, tapi tidak bisa, pintunya terkunci. Kakak ke mana? Apa ia sudah tertidur karena capek habis pulang dari sekolah? Mungkin sepertinya begitu. Tapi kenapa harus dikunci pintunya? Apa ia tidak mau diganggu tidurnya olehku? Aku pun kembali lagi ke kamar, masih ada hari esok untuk memberitahu ini ke kakak.
     Pagi pun tiba, selesai mandi ibu menyisiri rambutku dan merapikan penampilanku. Sebelum berangkat ke rumah sakit untuk dioperasi, aku sarapan terlebih dahulu. Pagi ini kakak tidak ikut sarapan bersamaku.
     Ibu bilang kakak sakit, jadi ia butuh istirahat. Pantas saja semalam pintunya dikunci, biar aku tidak mengganggunya. Padahal aku ingin kakak ada di sampingku saat aku bisa melihat lagi nanti. Tapi tak apalah, aku tidak boleh egois, keadaan kakak bisa tambah buruk kalau aku memaksakannya untuk menemaniku.
     Lagi pula aku masih tetap bisa melihatnya di rumah setelah pulang dari rumah sakit. Aku berangkat ke rumah sakit bersama ibu, sedangkan ayah menemani kakak di rumah. Hari ini ayah tidak bekerja.
     "Bu, kakak sakit apa?"
     "Kakak kecapekan, sayang. Kakak cuma butuh istirahat aja biar pulih,"
     "Tapi kakak benar cuma kecapekan aja, kan, Bu?"
     "Iya, sayang. Udah, ya, kamu gak usah khawatirin kakak,"
     "Aku gak mau kakak kenapa-kenapa,"
     "Kakak baik-baik aja, kok,"