Aku tetap terdiam berdiri di posisiku ini sambil memegang erat tongkatku. Aku tidak mempedulikan marahan orang-orang yang sedang berkendara, dan tidak juga mempedulikan suara klakson kendaraan mereka yang memberitahuku untuk segera pergi dari tempatku berdiri, karena posisiku ini menghalangi jalannya mereka. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena takut akan salah melangkah yang mengakibatkan aku celaka.
Kepanikanku semakin menjadi-jadi. Aku hanya bisa memanggil-manggil ibu dan kakak, berharap mereka berdua bisa menolongku di sini. Tapi kakak tidak mungkin menolongku, ia sedang ujian di sekolah. Sedangkan ibu, aku tidak tahu entah di mana keberadaannya.
Namun, tidak lama kemudian aku mendengar seseorang berteriak memanggilku dari kejauhan sana. Teriakkannya terdengar cemas. Aku mengenali teriakkan itu. Teriakkan itu? Itu teriakkan ibu. Ya, itu ibu. Aku langsung memberitahu ibu di mana aku berada, walau sebenarnya ibu sudah tahu di mana aku berada setelah mendengar panggilanku yang memanggilnya.
"Ibu, aku di sini. Tolong aku Bu, aku takut."
"Iya, kamu jangan ke mana-mana ya. Ibu ke sana." Jawab ibu yang kembali berteriak dengan nada kecemasan.
Aku menuruti ucapan ibu tersebut. Aku tetap diam di tempatku berdiri sambil terus memegang erat tongkatku. Hanya tongkat itu yang kini setia menemani setiap langkahku, memudahkan aku berjalan ke manapun aku melangkah. Karena dengan adanya tongkat penunjuk jalan, aku bisa lebih tahu ada apa saja di depan langkah-langkah yang akan aku lewati. Meski dia tidak bermata, setidaknya ia bisa menjadi mata untukku, agar aku bisa melangkah dengan baik.
"Kamu gak apa-apa, kan, sayang? Ibu khawatir banget sama kamu," ibu bertanya ketika kami sudah berada di tempat yang lebih aman.
"Aku gak apa-apa, kok, Bu. Makasih, ya." jawabku dengan kondisi yang sudah tenang.
"Kenapa kamu bisa sampai ke jalan raya?" Ibu kembali bertanya.
"Aku lapar, Bu, aku mau makan. Tadi, kan, ibu bilang ibu ada di luar, makanya aku keluar buat bilang ke ibu. Tapi pas udah di luar aku panggil-panggil, Ibu gak jawab aku. Aku coba cari ibu, sampai akhirnya aku ke jalan raya. Maafin aku, Bu, udah buat ibu khawatir." Aku menjelaskan semuanya.
"Ibu gak tahu kalau kamu bakal ke luar. Tadi ibu pergi ke rumah tetangga sebelah. Maafin ibu juga, ya?"
"Gak apa-apa, Bu. Yang penting sekarang aku udah sama ibu,"
Ibu menuntunku kembali ke rumah. Aku tenang, akhirnya bisa kembali ke rumah tanpa kenapa-kenapa. Aku benar-benar takut tadi akan celaka, aku masih mau bersama ayah, ibu dan kakak.
Setelah sampai di rumah, ibu langsung membawaku ke meja makan, membantuku duduk di kursi dan menyendokkan sepiring nasi beserta lauknya untukku.
Baru beberapa sendok nasi masuk ke mulutku, tiba-tiba suara kakak terdengar dan membuatku terkejut.
"Gak nunggu kakak pulang dulu makannya?"
Aku menghentikan makan, dan berkata. "Kakak udah pulang?"
"Iya, baru aja sampai. Tumben makan duluan? Biasanya nunggu kakak pulang dulu, kan?" tanyanya, karena biasanya aku selalu menunggunya pulang ketika mau makan siang.
"Aku udah lapar banget, Kak, jadinya makan duluan, deh. Hehehe," sambil tertawa kecil aku menjawabnya.
"Yaudah, dihabisin ya makannya, Kakak mau ganti baju dulu." kakak bergegas pergi meninggalkanku. Tapi sebelum dia pergi aku menghentikannya.
"Kakak tunggu,"
"Ada apa, Dek?" tanyanya.
"Kakak udah selesai belum ujiannya?" aku berbalik tanya padanya. Kalau dihitung-hitung harinya, sepertinya sudah.
"Oiya, hampir lupa bilang ke kamu kalau kakak udah selesai ujiannya." jawabnya.
Akhirnya pelaksanaan ujian kakak telah selesai. Kakak bilang dia bisa mengerjakannya tanpa mengalami kesulitan sedikit pun. Aku sangat senang mendengarnya. Hubunganku dan kakak kembali menjadi dekat seperti biasanya. Ia juga kembali lagi membantuku dalam melakukan sesuatu yang tidak bisa kulakukan sendiri. Aku sudah tidak merasa sendiri dan kesepian lagi, karena kakak sudah berada di sampingku lagi.
__
"Kak, wajah kakak gak berubah, kan?" Aku memegang wajahnya dengan kedua tangan. Meraba, merasakan dan membayangkan bagaimana rupa saudara lelakiku itu. Aku takut wajahnya terlupakan dalam ingatanku, karena kini aku tak bisa melihatnya lagi.
"Wajah kakak gak berubah, kok, Dek. Sayang kakak ke kamu juga sama." Kakak menjawab sambil membelai wajahku dengan lembut, yang membuatku tersenyum lebar mendengarnya.
"Aku minta maaf, ya, Kak, karena pernah jadi adik yang jahat."
"Kamu ini bicara apa, sih? Kamu adik terbaik yang kakak miliki. Kakak yang minta maaf, karena selalu merepotkan kamu."
"Enggak, Kak. Aku yang sekarang merepotkan kakak,"
"Kakak senang, kok, bisa bantu kamu."
"Maafin aku, ya, Kak. Aku sayang kakak."
"Kakak juga sayang kamu, Dek."
Begitulah obrolan kita di penghujung malam sebelum akhirnya mata kami terpejam.
Berlanjut...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H