Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa usiaku 12 tahun dan sudah masuk SMP. Aku bersekolah di sekolah yang sama dengan kakak. Di mana sekolah itu memiliki dua tingkatan, SMP dan SMA. Aku kelas 1 SMP, sedangkan kakak kelas 3 SMA. Setiap hari kami diantar oleh ayah ke sekolahnya, karena arah tempat kami menuntut ilmu satu arah dengan tempat kerja ayah. Aku selalu mengantarkan kakak sampai ke dalam kelas. Ketika ia belum pulang pun aku menunggunya, sebab jam pulangku lebih cepat dibandingkan jam pulangnya.
      Aku juga selalu membelanya di saat yang lain mengganggunya. Ternyata ia suka diganggu oleh teman-temannya, alias dibully. Sakit hatiku melihat kakakku dibully seperti itu. Yang lebih sakit ketika dia didorong sampai terjatuh dari kursi rodanya. Membiarkan ia berjalan dengan cara menyeret kedua kakinya yang tak berdaya itu di jalan, karena mereka mengambil alat bantu berjalannya.
Mereka juga mengambil tasnya dan menghamburkan semua buku-buku yang ada di dalamnya, lalu membuang jauh tasnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa di saat yang lain melakukan itu padanya. Rasanya aku ingin membalas semua perbuatan mereka yang sudah pernah dilakukannya pada kakak.
     Aku pernah mencoba untuk membalasnya atau melawan mereka di saat melakukan perbuatan itu lagi, tapi kakak selalu melarangku, dia tidak mau aku menjadi seseorang yang pedendam, yang suka membalas kejahatan dengan kejahatan. Walaupun ia selalu mendapatkan perilaku yang tidak baik seperti itu dari teman-temannya, ia tidak pernah cerita kepadaku ataupun kepada ibu. Setiap kali pulang sekolah pun wajahnya terlihat biasa saja. Padahal, ia begitu tersiksa di sekolah selama ini.
     Sayangnya kebiasaan itu tidak berlangsung lama, hanya berlangsung selama tiga bulan. Aku memutuskan untuk tidak lagi mengantarkannya sampai ke dalam kelas, tidak lagi menunggunya ketika ia belum pulang, dan tidak lagi membelanya ketika dia diganggu oleh teman-temannya setelah teman-temanku tahu dia adalah kakakku.
Mereka suka mengejek-ejekku, berkata bahwa aku mempunyai seorang kakak yang cacat. Saat itu aku malu, sangat malu. Setiap kali tiba di kelas aku selalu mendapat ejekkan itu, ejekkan yang selalu membuat semua anak di dalam kelas tertawa mendengarnya.
     Hubunganku dengannya pun jadi tidak baik akibat ejekkan teman-temanku yang mengejekku tentang kondisinya. Di rumah kami tidak saling bicara, walau sebenarnya dia sudah mencoba untuk berbicara lebih dulu denganku, tapi aku selalu menghindar jika setiap kali dia mendekatiku. Aku juga sudah tidak lagi membantunya di setiap kali ia meminta bantuan.
     Aku memang benar-benar menjadi adik yang jahat, sudah tega membiarkan kakakku menghadapi semuanya sendiri karena kegengsianku pada yang lain. Tapi, ketika waktu berselang seminggu aku memutuskan untuk meminta maaf padanya. Aku sadar, seharusnya aku tidak berlaku seperti itu dengannya. Meski semarah, segengsi, dan semalu apapun aku tidak bisa merubah keadaannya dan tidak bisa menentang kehendak-Nya.
     Aku bukan anak kecil lagi yang masih suka memikirkan diri sendiri dan memikirkan kesenangan sendiri. Tapi, aku sudah remaja yang pemikiranku sudah mulai dewasa, sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak. Jika aku masih begitu, berarti sama saja aku seperti anak kecil.
     "Kak, aku minta maaf udah bersikap yang gak baik sama kakak. Aku minta maaf, Kak." ucapku sambil bersimpuh di depannya dan menggenggam erat kedua tangannya.