pameran seni tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia dengan tema "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan" menjadi perbincangan hangat di penghujung tahun 2024. Keputusan ini menuai kritik luas dari masyarakat, aktivis seni yang menyebut kasus ini sebagai bentuk "pembredelan seni," istilah yang pernah populer di masa Orde Baru.
Pembatalan
Seni dan Kritik Sosial: Dimana Batasnya?
Kurator pameran menyebut alasan pembatalan adalah karena lima lukisan dalam pameran tersebut dinilai tidak sesuai tema. Kelima karya itu menggambarkan wajah tokoh yang menyerupai Presiden Jokowi dengan nuansa kritik sosial yang dianggap berlebihan. Kritik melalui seni bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam sejarahnya, seni sering menjadi medium perlawanan terhadap kekuasaan, mulai dari poster perjuangan hingga puisi-puisi protes.
Namun, kritik melalui seni juga memiliki batasan. Dalam hal ini perlu menggarisbawahi pentingnya membedakan kritik yang membangun dengan ujaran kebencian. Jangan sampai kritik menjadi caci maki, fitnah, atau ujaran kebencian. Menurut banyak orang bahwa di era Presiden Jokowi, kritik sering kebablasan, seperti dalam patung Butet Kartaredjasa yang menggambarkan Jokowi sebagai Pinokio. Jokowi sendiri cenderung membiarkan ekspresi semacam itu berkembang, memberikan ruang yang luas bagi kebebasan berpendapat.
Era Prabowo: Mengembalikan Makna Kritik?
Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tampaknya ada upaya untuk mengembalikan kritik pada esensinya---sebagai refleksi yang beradab, bukan sekadar ejekan atau fitnah. Langkah ini disambut baik oleh sebagian kalangan yang merasa kebebasan berpendapat di era sebelumnya sering disalahgunakan.
Namun, pembatalan pameran ini memicu kekhawatiran bahwa langkah tersebut bisa berujung pada praktik sensor yang menyerupai Orde Baru. Saat itu, karya seni yang dinilai tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah seringkali dilarang tanpa pertimbangan yang adil. Kekhawatiran ini menjadi relevan ketika kasus pembatalan pameran Yos Suprapto dinilai kurang transparan dan memberikan kesan bahwa kebebasan seni kembali terancam.
Seni: Kritik atau Caci Maki?
Perdebatan mengenai karya seni sebagai kritik atau penghinaan bukanlah hal baru. Para seniman sering berpendapat bahwa seni adalah ruang bebas yang memungkinkan mereka menyampaikan pesan tanpa harus terikat oleh aturan yang terlalu kaku. Di sisi lain, masyarakat juga harus memahami bahwa kebebasan ini bukan berarti bebas dari tanggung jawab.
Lukisan, puisi, atau karya seni lainnya dapat menjadi kritik yang tajam namun tetap elegan. Sebaliknya, jika seni hanya menjadi medium untuk menebar kebencian, maka fungsi seni sebagai refleksi peradaban justru terdegradasi.
Sikap Pemerintah dan Masyarakat