Baru-baru ini, sebuah peristiwa politik menarik perhatian publik: Anak Abah---sebutan bagi pendukung Anies Baswedan---dan Ahokers---pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)---menyatakan bersatu untuk mendukung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno dalam Pilkada 2024.Â
Klaim ini menimbulkan tanda tanya besar, mengingat sejarah kelam hubungan kedua kelompok ini yang sempat berhadap-hadapan secara tajam pada Pilkada DKI Jakarta 2017.Â
Apakah ini benar-benar sebuah persatuan yang kokoh, atau hanya aliansi sementara demi kepentingan politik tertentu?
Sejarah Kelam Polarisasi Pilkada Jakarta
Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu babak paling kontroversial dalam demokrasi Indonesia. Isu agama dan ras digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan Ahok, yang saat itu menjadi calon petahana.Â
Pendukung Anies kerap menonjolkan narasi berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang memecah belah masyarakat, sementara Ahokers bertahan dengan argumen kinerja dan profesionalisme. Ketegangan di akar rumput memuncak, bahkan merusak hubungan sosial antarwarga.
Polarisasi ini menciptakan luka mendalam yang bertahan lama. Namun kini, dua kelompok yang dulu berseteru tersebut menyatakan bersatu di belakang pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang sama.Â
Fenomena ini menunjukkan bagaimana politik dapat mengubah lanskap persahabatan maupun permusuhan.
Politik dan Adagium "Musuh Bersama"
Persatuan antara Anak Abah dan Ahokers tak lepas dari adagium abadi dalam politik: Musuh bersama membuat lawan menjadi teman. Dalam hal ini, musuh bersama yang dimaksud bisa jadi adalah pihak-pihak yang mereka anggap sebagai ancaman politik dalam Pilkada 2024.Â
Namun, persatuan semacam ini kerap bersifat pragmatis dan sementara, tergantung pada kepentingan yang melatari aliansi tersebut.