Pilkada serentak adalah momen penting bagi demokrasi Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, esensi sejati dari pemilu, yaitu memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak, visi-misi, dan integritas, semakin terkikis. Banyak warga lebih tertarik pada aspek-aspek seperti popularitas calon, asal-usul etnis, atau bahkan jumlah uang yang ditawarkan dalam "serangan fajar." Pertanyaannya: masih adakah hati nurani dalam menentukan pilihan di Pilkada?
Politik Uang: Masalah Sistemik yang Sulit Hilang
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa biaya politik di Indonesia sangat besar. Sebuah studi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2020 mencatat bahwa rata-rata biaya kampanye seorang calon kepala daerah mencapai Rp65 miliar hingga Rp100 miliar.Â
Sebagian besar dana ini bukan digunakan untuk kampanye substansial, melainkan untuk "suap politik," seperti membayar tim sukses, membeli dukungan partai, dan serangan fajar.
Fenomena ini tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga menghilangkan kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Ketika pemilih menjual suara mereka, mereka kehilangan hak untuk menuntut pemimpin yang melayani dengan tulus.
Korupsi: Hasil dari Pilihan yang Salah
Berdasarkan data KPK, lebih dari 300 kepala daerah telah terjerat kasus korupsi sejak Pilkada langsung diberlakukan pada 2005. Sebagian besar dari mereka terbukti melakukan praktik-praktik ilegal seperti penggelapan anggaran, suap proyek, dan gratifikasi. Kasus terbaru adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) di salah satu daerah yang melibatkan kepala daerah yang baru menjabat setahun.
Korupsi ini bukan hanya soal moralitas, tetapi juga akibat dari sistem yang sudah salah sejak awal. Ketika pemimpin terpilih melalui proses yang kotor, mereka lebih cenderung memprioritaskan pengembalian modal dibandingkan kepentingan masyarakat.
Peran Masyarakat dalam Mengembalikan Esensi Pilkada
Kunci dari perubahan adalah masyarakat itu sendiri. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengembalikan hati nurani dalam Pilkada:
1. Edukasi Politik
Pemilih harus memahami bahwa setiap suara mereka sangat berharga. Media, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil perlu aktif memberikan pendidikan politik agar masyarakat bisa memilih berdasarkan rekam jejak, bukan uang atau popularitas.
2. Penolakan Politik Uang
Masyarakat harus menolak praktik politik uang. Ini membutuhkan keberanian dan komitmen untuk tidak tergiur dengan iming-iming materi yang hanya memberikan manfaat sesaat.
3. Pilih Berdasarkan Rekam Jejak dan Visi-Misi
Calon yang memiliki integritas dan komitmen untuk melayani harus menjadi prioritas. Masyarakat harus memanfaatkan akses informasi, seperti laporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dan rekam jejak calon, yang sekarang bisa diakses secara online.
4. Tingkatkan Partisipasi Pemilih
Rendahnya partisipasi pemilih sering menjadi peluang bagi politisi kotor. Data KPU menunjukkan bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 hanya sekitar 76,09%. Meningkatkan angka ini bisa mengurangi dominasi politik uang.
Pentingnya Pemimpin yang Berintegritas
Pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga menentukan masa depan daerah. Seorang pemimpin yang berintegritas akan memprioritaskan pembangunan yang berkelanjutan, pelayanan publik yang transparan, dan program yang berdampak langsung pada masyarakat.Â
Sebaliknya, pemimpin yang terpilih melalui praktik kotor hanya akan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi.
Pilihlah dengan hati nurani, bukan dengan pragmatisme. Sebuah suara yang diberikan dengan penuh tanggung jawab adalah investasi bagi masa depan daerah dan bangsa. Jangan biarkan serangan fajar mengaburkan harapan akan pemimpin yang benar-benar melayani.
Harapan untuk Pilkada yang Lebih Baik
Masyarakat harus menjadi benteng terakhir untuk menjaga integritas demokrasi. Pilkada adalah milik rakyat, bukan milik segelintir elit politik. Mari kita kembalikan esensi sejati dari pemilu: memilih pemimpin yang jujur, kompeten, dan berdedikasi untuk melayani.
Ingatlah, salah memilih pemimpin bukan hanya merugikan lima tahun, tetapi bisa menghancurkan masa depan generasi berikutnya.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H