Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pernyataan Kontroversial Calon Dewan Pengawas KPK: Tantangan Integritas dan Reformasi Sistem Pemilihan

22 November 2024   13:40 Diperbarui: 22 November 2024   13:40 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seleksi Dewas KPK di Komisi III DPR (Sumber Photo: detikNews. Com

Uji kelayakan dan kepatutan calon Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menjadi sorotan publik, terutama karena posisinya yang strategis dalam menjaga integritas lembaga antirasuah ini. Salah satu calon, Heru Kreshna Reza, membuat pernyataan yang menuai perdebatan saat menjalani proses tersebut di DPR RI. 

Ia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap praktik menampilkan tersangka korupsi dalam konferensi pers, mengingat pentingnya asas praduga tak bersalah."Misalnya ketika press conference, pengumuman seseorang tersangka. Dipajang dengan seluruh barang bukti yang didapat. Padahal, peran asas praduga tak bersalah, asas hukum universal orang ini belum bisa dinyatakan bersalah karena belum melalui proses pengadilan," ujar Heru, menanggapi pertanyaan Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR RI, pada Kamis (21/11/2024).

Pernyataan ini memicu perdebatan sengit di kalangan pengamat hukum, aktivis antikorupsi, dan masyarakat luas. Sebagian menilai pernyataan tersebut sejalan dengan prinsip universal hukum, namun sebagian lain mempertanyakan apakah langkah ini justru melemahkan efek jera yang diupayakan oleh KPK dalam memerangi korupsi.

Korupsi: Kejahatan Luar Biasa, Perlukah Pendekatan Luar Biasa?

Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan yang tidak biasa. Konferensi pers dengan menampilkan tersangka dan barang bukti telah menjadi salah satu strategi KPK untuk memberikan efek jera, meningkatkan transparansi, dan membangun kepercayaan publik terhadap lembaga ini.

Namun, pendekatan ini sering dikritik karena dianggap melanggar asas praduga tak bersalah. "Saat seseorang ditampilkan sebagai tersangka, persepsi publik cenderung langsung menyatakan ia bersalah. Padahal proses pengadilan belum selesai," kata pengamat hukum pidana Asep Iwan Iriawan.

Di sisi lain, kritik ini juga memunculkan pertanyaan: apakah perlindungan hak tersangka harus mengesampingkan upaya melawan korupsi yang sistemik? Data Transparency International menunjukkan Indonesia menempati peringkat 96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (2023). Dalam situasi genting ini, membangun ketakutan publik terhadap konsekuensi korupsi dianggap penting untuk mencegah kasus baru.

DPR dan Seleksi Dewan Pengawas: Adakah Sistem yang Lebih Baik?

Kontroversi ini bukan yang pertama dalam proses seleksi Dewan Pengawas KPK. Sebelumnya, Janis Tarnak, anggota pimpinan KPK, juga menuai kecaman karena menyebut tapping on trap (TOT) atau operasi tangkap tangan sebagai metode yang "tidak manusiawi." Pernyataan ini memicu kekhawatiran bahwa pimpinan KPK cenderung melemahkan lembaga itu sendiri.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah proses seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK perlu diubah. Saat ini, seleksi dilakukan melalui Panitia Seleksi (Pansel) dan disahkan oleh DPR. Namun, dominasi DPR sebagai pengambil keputusan akhir seringkali dianggap rawan terhadap kepentingan politik.

Pengamat antikorupsi Emerson Yuntho menyarankan reformasi proses seleksi dengan melibatkan lebih banyak unsur masyarakat sipil dan institusi independen. "Harus ada mekanisme yang memastikan bahwa calon Dewas benar-benar memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi. Keterlibatan DPR sebaiknya dibatasi hanya sebagai fungsi pengawasan, bukan penentu akhir," tegasnya.

Sistem Alternatif: Menuju Pemilihan yang Lebih Transparan dan Akuntabel

Beberapa usulan reformasi dalam pemilihan Dewas dan pimpinan KPK meliputi:

1. Pembentukan Komite Seleksi Independen: Melibatkan akademisi, pakar hukum, aktivis antikorupsi, dan tokoh masyarakat untuk menyeleksi calon secara transparan.

2. Penguatan Peran Presiden sebagai Penentu Akhir: Presiden tetap memegang kendali akhir, namun harus didasarkan pada rekomendasi komite seleksi.

3. Uji Publik yang Komprehensif: Menggelar uji kelayakan dengan partisipasi publik dan media untuk menilai integritas dan visi calon secara terbuka.

4. Peningkatan Akuntabilitas DPR: Jika DPR tetap dilibatkan, maka prosesnya harus terbuka dan dapat diawasi langsung oleh publik.

Dewan Pengawas yang Ideal: Tegas, Adil, dan Progresif

Dewan Pengawas KPK idealnya diisi oleh individu-individu yang tidak hanya memahami hukum, tetapi juga memiliki keberanian untuk mendukung langkah-langkah tegas dalam memberantas korupsi. Pernyataan kontroversial seperti yang disampaikan Heru Kreshna Reza harus ditanggapi dengan hati-hati agar tidak menimbulkan persepsi bahwa Dewas berupaya melemahkan KPK.

Ke depan, diperlukan kesadaran bersama bahwa memberantas korupsi adalah perjuangan kolektif. Sistem seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan publik menjadi langkah krusial untuk memastikan KPK tetap kuat dalam menjalankan tugasnya. Seperti kata pepatah, "keadilan bukan hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus terlihat ditegakkan."***MG

---

Artikel ini ditulis untuk mendorong diskusi yang sehat mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia dan pentingnya menjaga independensi lembaga antirasuah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun