Birokrasi di Indonesia, meskipun dirancang untuk melayani masyarakat, sering kali terjebak dalam pola kerja yang kaku dan berorientasi pada prosedur daripada hasil. Beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan birokrasi ini adalah:
Budaya Kerja yang Lamban: Banyak laporan masyarakat hanya "ditampung," tetapi tidak pernah sampai pada tahap penyelesaian.
Minimnya Transparansi: Tidak ada mekanisme yang jelas untuk melacak laporan, sehingga masyarakat tidak tahu nasib laporan mereka.
Kurangnya Akuntabilitas: Tanpa pengawasan yang ketat, birokrat cenderung abai terhadap keluhan warga.
Dalam situasi seperti ini, masyarakat lebih percaya pada kanal langsung yang diawasi oleh tokoh berpengaruh. Mereka berharap, dengan kekuatan politik dan otoritasnya, pejabat tinggi dapat memastikan laporan mereka ditindaklanjuti.
Tantangan Kanal "Top-Down"
Meski menawarkan solusi instan, kanal aduan yang dibuat pejabat tinggi seperti Wapres juga menghadapi sejumlah tantangan:
Volume Laporan yang Tinggi: Dengan cakupan nasional, "Lapor Mas Wapres" berpotensi menerima ribuan laporan setiap hari. Tanpa sistem manajemen yang baik, kanal ini bisa kewalahan.
Efektivitas Proses: Penting untuk memastikan bahwa laporan tersebut tidak hanya diterima, tetapi juga disalurkan ke instansi yang tepat dengan tindak lanjut yang jelas.
Transparansi dan Akuntabilitas: Masyarakat harus bisa melacak progres laporan mereka secara real-time.