Sumber video: suara.com
Pilkada semakin dekat. Persaingan antar kandidat kian memanas. Salah satu peristiwa yang menarik perhatian publik baru-baru ini adalah video dukungan Presiden Prabowo Subianto untuk pasangan calon Gubernur Jawa Tengah, Lutfhi - Yasin. Video tersebut dirilis di YouTube, menunjukkan Prabowo menyampaikan dukungan secara terbuka. Sebelumnya, Prabowo juga terlihat makan bersama Ridwan Kamil, calon gubernur Jakarta. Langkah-langkah ini menimbulkan polemik: apakah ini bentuk "cawe-cawe" yang tidak sepatutnya bagi seorang presiden?
Di satu sisi, banyak yang mempertanyakan langkah Prabowo yang seharusnya menjaga netralitas sebagai pemimpin negara. Namun, di sisi lain, publik perlu memahami konteks politik yang lebih luas.Â
Sebagai presiden, Prabowo memang memiliki tanggung jawab menjaga stabilitas politik dan netralitas, namun sebagai ketua Partai Gerindra, ia juga memiliki hak politik untuk mendukung kandidat yang sejalan dengan visi partainya.Â
Pertanyaannya adalah, di mana batas antara hak politik dan cawe-cawe yang berlebihan?
Menakar Hak Politik Prabowo
Dukungan Prabowo terhadap Lutfhi - Yasin di Jawa Tengah dan interaksi dengan Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jakarta sebenarnya bukanlah hal yang melanggar undang-undang.Â
Hukum pemilu di Indonesia memang mengatur bahwa pejabat publik seperti presiden tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan politik, dan harus mengambil cuti jika ingin terlibat aktif dalam kampanye.Â
Namun, hak politik Prabowo tetaplah sah, mengingat posisinya sebagai ketua partai politik.
Posisi Prabowo dalam hal ini mirip dengan posisi Presiden Jokowi sebelumnya. Ketika Jokowi mendukung sejumlah kandidat dalam Pilkada, banyak yang menganggap hal itu sebagai campur tangan yang tidak perlu.Â
Tetapi perlu dicatat bahwa presiden---baik Jokowi maupun Prabowo---tetap memiliki hak politik untuk menyuarakan dukungan.Â
Bedanya, dukungan ini harus berjalan dalam koridor yang benar, tanpa melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau fasilitas negara.
Mengapa Dukungan Ini Tidak Semestinya Jadi Polemik?
Dukungan politik dari tokoh nasional memang kerap menjadi isu sensitif, terutama dalam iklim politik Indonesia yang mudah terpolarisasi.Â
Di era digital ini, dukungan melalui platform seperti YouTube atau media sosial sering kali memicu tanggapan keras dan spekulasi.Â
Namun, publik harus belajar memahami bahwa dukungan politik bukanlah pelanggaran, selama prosedur yang ada diikuti dengan benar.
Sebagai contoh, ketika Prabowo mendukung Lutfhi di Jawa Tengah, ia tidak menggunakan fasilitas negara atau memanfaatkan jabatannya sebagai presiden untuk memobilisasi dukungan.Â
Dukungan ini lebih bersifat sebagai ungkapan pribadi yang legal sebagai ketua partai.Â
Kontroversi seputar dukungan ini sebenarnya tidak perlu berlarut-larut jika masyarakat memahami batasan dan hak politik yang melekat pada tokoh-tokoh tersebut.
Peran Bawaslu dan KPU dalam Mengawasi Pilkada
Tentu saja, untuk menjaga fairness dan keadilan dalam pemilu, pengawasan oleh Bawaslu dan KPU tetap sangat diperlukan.Â
Bawaslu dan KPU berperan sebagai penjamin bahwa tidak ada pelanggaran hukum yang terjadi, baik oleh kandidat, pendukung, maupun pejabat publik.Â
Dalam kasus Prabowo, jika nantinya ia ingin turun langsung dalam kampanye, maka ia diwajibkan mengambil cuti sesuai aturan.
Pengawasan yang ketat ini penting untuk memastikan bahwa Pilkada berjalan sesuai aturan dan terhindar dari penggunaan fasilitas negara secara tidak tepat.Â
Sebaliknya, jika aturan diikuti, tidak ada alasan bagi publik untuk mempermasalahkan dukungan politik dari tokoh mana pun, asalkan tidak melanggar batas yang ditetapkan.
Masyarakat Perlu Lebih Dewasa dalam Berpolitik
Seiring dengan pesatnya arus informasi, masyarakat juga perlu meningkatkan kedewasaan dalam berpolitik.Â
Isu yang memancing konflik dan polarisasi, seperti tuduhan cawe-cawe ini, sering kali dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik.Â
Untuk itu, masyarakat harus lebih kritis dan tidak mudah terpancing oleh isu-isu yang tidak berlandaskan fakta.
Pilkada yang sehat adalah Pilkada yang memberi ruang bagi publik untuk menilai dan memilih calon berdasarkan program kerja dan visi mereka, bukan berdasarkan isu-isu negatif yang tidak relevan.Â
Masyarakat harus mampu menilai kandidat dengan objektif, mempertimbangkan rekam jejak, visi, serta kontribusi nyata yang bisa mereka berikan bagi daerah.
Netralitas dalam Koridor Hak Politik
Dukungan politik Presiden Prabowo terhadap calon gubernur merupakan hak politik yang melekat padanya sebagai ketua partai.Â
Selama ia mematuhi aturan yang ada---tidak menggunakan fasilitas negara dan mengambil cuti jika ingin berkampanye langsung---dukungan ini sebenarnya tidak melanggar hukum.Â
Publik diharapkan dapat melihat hal ini secara objektif dan tidak terjebak dalam polemik yang justru mengaburkan substansi utama Pilkada: kualitas kandidat.
Maka, ketimbang menyibukkan diri dengan polemik dukungan politik, fokus seharusnya dialihkan pada substansi: bagaimana calon yang ada mampu memberikan solusi nyata bagi daerah.Â
Pada akhirnya, Pilkada bukan soal siapa yang mendukung, tetapi soal siapa yang paling mampu membawa perubahan dan kemajuan nyata bagi masyarakat.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H