Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK: Kaesang Tidak Melakukan Gratifikasi, Mengapa?

1 November 2024   20:56 Diperbarui: 1 November 2024   21:23 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: kompas.com

Heboh mengenai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep dan istrinya yang menaiki pesawat pribadi ke Amerika Serikat baru-baru ini menarik perhatian publik. Tidak hanya menjadi berita nasional, peristiwa ini juga menuai tuduhan dari pihak oposisi dan pengkritik pemerintah yang menganggap Kaesang telah menerima gratifikasi. 

Menanggapi tuduhan tersebut, Kaesang langsung mengambil langkah untuk melaporkan dirinya sendiri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna mengklarifikasi isu ini.

Akhirnya, KPK mengeluarkan hasil analisis yang menyatakan bahwa perjalanan Kaesang menggunakan jet pribadi tersebut tidak masuk dalam kategori gratifikasi. Tim Direktorat Gratifikasi KPK menyelesaikan kajian mereka terkait dugaan gratifikasi tersebut, dan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, dalam keterangannya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (1/11/2024), menegaskan bahwa Kaesang tidak melakukan Gratifikasi.

Kenapa Kaesang Tidak Dapat Dikatakan Melakukan Gratifikasi?

Menarik untuk memahami mengapa KPK memutuskan bahwa kasus ini bukanlah gratifikasi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi mengacu pada pemberian yang diterima oleh seorang penyelenggara negara atau pejabat negara yang berkaitan dengan jabatannya dan berpotensi memengaruhi pengambilan keputusan dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini, Kaesang bukanlah pejabat negara, melainkan pemimpin sebuah partai politik. Karena itu, dalam konteks undang-undang, ia tidak termasuk dalam kategori yang dapat dikenakan pasal gratifikasi.

Pasal 12B dalam UU tersebut secara jelas menyatakan bahwa gratifikasi yang dianggap suap adalah yang diterima oleh "penyelenggara negara." Penyelenggara negara meliputi presiden, menteri, anggota parlemen, pejabat tinggi negara, serta aparat sipil negara lainnya. Sebagai seorang warga sipil yang memimpin partai politik, Kaesang tidak terikat kewajiban serupa dalam hal pelaporan gratifikasi, kecuali ada bukti kuat bahwa pemberian tersebut terkait dengan transaksi politik atau keuntungan jabatan yang dapat memengaruhi kebijakan.

Bagi sebagian pihak, tuduhan terhadap Kaesang memang tampak seperti usaha untuk mencari-cari kesalahan keluarga Presiden Jokowi. Tuduhan semacam ini memanfaatkan isu-isu yang sensitif di masyarakat, seperti gratifikasi, untuk menciptakan narasi yang mendiskreditkan figur tertentu. Kendati demikian, UU anti-gratifikasi dibuat untuk menjaga integritas penyelenggara negara dan bukan untuk menjadi alat dalam menyerang pribadi yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai penyelenggara negara.

Pelajaran Penting dari Kasus Kaesang

Kasus ini memberikan beberapa pelajaran penting bagi masyarakat, bagi lembaga antikorupsi, dan bagi Kaesang sendiri:

1. Masyarakat Harus Bijak Menilai dan Tidak Mudah Terpancing
Masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai tuduhan-tuduhan publik, terutama yang dilontarkan dalam konteks politik. Masyarakat harus paham bahwa tidak semua pemberian yang diterima individu dapat dikategorikan sebagai gratifikasi, terlebih jika individu tersebut bukanlah pejabat publik atau penyelenggara negara. Tuduhan yang tidak berdasar dapat menyesatkan opini publik dan menciptakan kebingungan.

2. Menghindari Politisasi Hukum
KPK sebagai lembaga antikorupsi harus berdiri di atas semua kepentingan politik dan menjaga obyektivitas. Tidak boleh ada tekanan politik yang memengaruhi proses hukum, terutama dalam isu yang berkaitan dengan gratifikasi. Meskipun kasus Kaesang ramai diperbincangkan, KPK tetap menjaga integritasnya dengan memproses laporan berdasarkan landasan hukum, bukan opini publik atau tekanan politis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun