Yang menjadi persoalan adalah apabila seorang presiden atau pejabat tinggi negara menggunakan kekuasaan dan fasilitas negara untuk mengampanyekan salah satu kandidat.Â
Dalam hal ini, undang-undang telah mengatur bahwa penggunaan sarana negara untuk kampanye adalah pelanggaran, bukan sekadar tindakan "cawe-cawe."
Dalam konteks Prabowo, posisinya Sebagai Presiden sekaligus ketua partai yang mendukung Ridwan Kamil menempatkannya dalam posisi yang unik.Â
Sebagai ketua partai, Prabowo sah-sah saja mengundang Ridwan Kamil untuk makan bersama, apalagi karena Gerindra secara resmi mendukungnya sebagai calon Gubernur Jakarta.Â
Artinya, tuduhan "cawe-cawe" dalam kasus ini kurang relevan, karena Prabowo berada dalam kapasitas partai politiknya, bukan sebagai pejabat negara yang harus netral.
Pelajaran bagi Para Pengkritik Jokowi
Dengan melihat kondisi saat ini, para pengkritik Jokowi di masa lalu perlu merefleksikan kembali sikap mereka. Tuduhan "cawe-cawe" yang dulu dialamatkan kepada Jokowi sebenarnya menunjukkan standar ganda dalam politik Indonesia.Â
Ketika politisi yang berbeda melakukan hal serupa, kritikan dan penilaian publik tampaknya berbeda.Â
Sebagai pejabat yang terpilih melalui jalur politik, baik Jokowi maupun Prabowo memiliki hak untuk menyatakan dukungan terhadap kandidat tertentu, selama tidak melibatkan fasilitas negara atau tekanan politik.
Acara makan bersama dengan para kandidat mungkin akan terus menjadi bagian dari tradisi politik Indonesia.Â
Bagi Prabowo, ini adalah strategi membangun kedekatan dan komunikasi politik dengan berbagai calon pemimpin daerah, sementara bagi para kandidat seperti Ridwan Kamil, ini menjadi kesempatan untuk memperkuat citra di mata publik.