Presiden baru, kabinet baru, menteri pendidikan baru, dan kebijakan pendidikan baru. Fenomena ini sudah terasa seperti deja vu di Indonesia. Kini, muncul wacana untuk mengembalikan Ujian Nasional (UN). Tentu wacana seperti ini sah-sah saja, namun penting untuk memastikan agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama di masa lalu.
Sejarah UN dan Alasan Penghapusan
Ujian Nasional pertama kali diterapkan sebagai tolok ukur evaluasi kemampuan akademis siswa di seluruh Indonesia. Namun, sejak awal pelaksanaannya, UN menuai kritik dari berbagai kalangan.Â
Kritikus berpendapat bahwa UN terlalu berfokus pada standar akademis seragam, kurang memperhatikan perbedaan kemampuan dan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta kerap menjadi sumber tekanan psikologis bagi siswa.
Pada 2020, keputusan untuk menghapus UN dilakukan berdasarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk guru, siswa, dan para ahli pendidikan. Alasan utama penghapusan UN adalah untuk mengurangi beban siswa, menghindari penilaian yang hanya mengandalkan hasil ujian satu kali, serta mengedepankan penilaian berbasis proses atau asesmen yang lebih menyeluruh.Â
Selain itu, penghapusan UN juga bertujuan untuk mendorong kurikulum yang lebih fleksibel dan relevan dengan perkembangan kompetensi abad ke-21.
Permasalahan Mendasar: Bukan Sekadar Sistem dan Kurikulum
Jika UN dipertimbangkan untuk dikembalikan, para pembuat kebijakan harus menyadari bahwa permasalahan pendidikan Indonesia lebih dalam dari sekadar ujian atau kurikulum. Berbagai data menunjukkan bahwa masalah utama pendidikan Indonesia justru terletak pada ketidakmerataan akses pendidikan, kualitas pengajar yang tidak merata, serta infrastruktur pendidikan yang sangat bervariasi antar daerah.
Kualitas Guru: Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, pada tahun 2022, lebih dari 30% guru di Indonesia belum memenuhi standar kualifikasi minimum. Kondisi ini terjadi terutama di daerah pedalaman dan terpencil, di mana distribusi guru berkualitas sangat terbatas.
Fasilitas Pendidikan yang Tidak Merata: Data dari BPS menunjukkan bahwa masih banyak sekolah di daerah pedesaan yang belum memiliki akses terhadap fasilitas dasar, seperti perpustakaan atau laboratorium. Di beberapa provinsi, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, bahkan masih banyak sekolah yang belum memiliki bangunan layak.
Kesenjangan Teknologi dan Infrastruktur: Dalam era digital, kesenjangan infrastruktur teknologi menjadi penghambat besar bagi pendidikan di daerah terpencil. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, masih ada sekitar 12.000 desa di Indonesia yang tidak memiliki akses internet memadai pada tahun 2023. Tanpa akses internet yang merata, penerapan kurikulum berbasis teknologi tentu tidak bisa dijalankan dengan efektif di seluruh Indonesia.
Tantangan Pendidikan Indonesia: Lebih dari Sekadar Ujian Nasional