pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di Indonesia. Hingga Kamis (15/2/2024), sehari setelah pemungutan suara Pemilu 2024, Aksi Kamisan telah digelar sebanyak 805 kali.Â
Setiap Kamis, di seberang Istana Merdeka, Jakarta, sekelompok orang berdiri dalam diam, membawa payung hitam sebagai simbol perlawanan dan keteguhan. Mereka adalah bagian dari Aksi Kamisan, sebuah gerakan rakyat yang telah berlangsung selama 17 tahun, menuntut penyelesaianGerakan ini adalah suara yang terus memanggil, menuntut keadilan, namun sering kali terasa seperti seruan di padang gurun, tak terdengar oleh penguasa.Sejarah Aksi Kamisan: Suara Korban Pelanggaran HAM
Aksi Kamisan dimulai pada 18 Januari 2007 oleh keluarga korban pelanggaran HAM berat, seperti kasus penculikan aktivis 1997-1998, tragedi 1965, Trisakti-Semanggi, dan sejumlah kasus lain yang hingga kini belum terselesaikan. Dengan kesederhanaan dalam simbolisasi---berdiri diam di bawah payung hitam---mereka mengirimkan pesan kuat bahwa mereka tidak akan pernah lelah menuntut keadilan.
Para korban, terutama dari kalangan masyarakat kecil yang terpinggirkan, merasa bahwa suara mereka tak didengar oleh negara. Pelanggaran HAM berat ini umumnya melibatkan aparat negara atau aktor-aktor besar, sehingga kelompok rentan seperti mereka kehilangan daya untuk menuntut hak-hak yang seharusnya dijamin oleh konstitusi.
Pemerintah dari waktu ke waktu menjanjikan penyelesaian masalah HAM, namun kenyataannya, hingga kini, kasus-kasus tersebut terus menumpuk tanpa penyelesaian yang memadai. Tidak hanya pemerintahan Jokowi, melainkan juga rezim-rezim sebelumnya yang gagal memenuhi janji untuk menegakkan keadilan.
Pemerintahan Jokowi: Janji dan Realitas
Presiden Joko Widodo pernah menjanjikan komitmennya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat sejak awal masa jabatannya pada 2014. Dalam Nawacita, visi misi politik Jokowi, salah satu program utamanya adalah menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Namun, hingga kini, upaya penyelesaian masalah ini terkesan berjalan di tempat.
Beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dalam menangani pelanggaran HAM berat meliputi:
1. Pembentukan Tim Gabungan Fakta untuk menyelidiki kasus penculikan aktivis 1997-1998.
2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang meskipun sempat diusulkan, belum terwujud secara efektif.
3. Kebijakan rehabilitasi korban tragedi 1965, meski minim implementasi konkrit.
4. Pengakuan secara simbolis terhadap beberapa kasus, seperti pernyataan permintaan maaf Jokowi dalam Peringatan Hari HAM Internasional pada Desember 2022.
Namun, meski ada langkah-langkah tersebut, keluarga korban merasa bahwa pencapaian pemerintah jauh dari kata memuaskan. Salah satu tuntutan utama mereka adalah pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus seperti Trisakti dan penculikan aktivis, yang sampai hari ini belum terealisasi.
Tuntutan Para Korban: Lebih dari Sekadar Pengakuan
Bagi keluarga korban, yang mereka inginkan bukan hanya pengakuan atau sekadar simbolisasi. Mereka menginginkan keadilan substantif---pelaku harus diadili, dan negara harus memastikan korban serta keluarganya mendapatkan hak-hak mereka, termasuk hak untuk mengetahui kebenaran.
Aksi Kamisan tidak hanya menyerukan penyelesaian kasus-kasus besar, tetapi juga menuntut perubahan struktural dalam penegakan HAM di Indonesia. Mereka ingin agar aparat keamanan yang terlibat dalam pelanggaran diberi sanksi, reformasi hukum ditegakkan, dan supremasi hukum benar-benar berlaku, terutama terhadap kasus yang melibatkan pejabat negara.
Selain itu, korban menginginkan penghentian impunitas, yang selama ini menjadi penghalang besar bagi penuntasan kasus HAM berat. Dalam banyak kasus, pelaku pelanggaran masih bebas, bahkan menduduki posisi penting di pemerintahan atau militer. Impunitas ini menunjukkan kurangnya komitmen serius dari negara dalam menghormati hak-hak korban.
Hambatan Penyelesaian Kasus HAM Berat
Salah satu alasan utama mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia berjalan lambat adalah kompleksitas politik. Banyak dari kasus ini melibatkan pihak-pihak kuat di dalam militer atau elit politik, yang membuat investigasi dan penegakan hukum sulit dijalankan.
Selain itu, ada juga faktor kurangnya kemauan politik. Meski Jokowi pernah berjanji, kenyataannya, dalam berbagai kesempatan, pemerintah terlihat enggan mengambil langkah tegas. Sebagai contoh, pembentukan pengadilan HAM ad hoc kerap diabaikan dengan alasan kurangnya bukti yang cukup, padahal keluarga korban terus berjuang untuk memperjuangkan kebenaran.
Sikap apatisme publik juga turut berkontribusi pada lambatnya penyelesaian kasus ini. Dalam banyak kasus, masyarakat yang tidak terkena dampak langsung dari pelanggaran HAM kurang peduli dengan perjuangan korban. Aksi Kamisan sering kali tidak mendapatkan perhatian yang layak dari media massa atau publik luas, seolah menjadi ritual sunyi yang berlangsung tanpa pengaruh.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Untuk menjawab tuntutan Aksi Kamisan dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Indonesia, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang lebih tegas dan konkret. Beberapa di antaranya adalah:
1. Pengadilan HAM ad hoc: Segera membentuk pengadilan khusus untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM.
2. Reformasi militer dan kepolisian: Menuntaskan reformasi di sektor keamanan untuk memastikan bahwa pelaku pelanggaran HAM tidak lagi mendapat perlindungan.
3. Transparansi dan partisipasi korban: Melibatkan korban dalam proses penyelidikan dan keputusan-keputusan penting, termasuk dalam pembentukan komisi kebenaran.
4. Penyelesaian menyeluruh dan adil: Negara harus menyediakan kompensasi, rehabilitasi, dan jaminan ketidakberulangan bagi korban dan keluarga.
5. Pendidikan HAM dan kesadaran publik: Membangun kesadaran di masyarakat akan pentingnya menegakkan HAM dan memperkuat dukungan publik terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran ini.
Suara Kamisan: Antara Harapan dan Realitas
Aksi Kamisan akan terus berdiri sebagai simbol perjuangan panjang korban pelanggaran HAM di Indonesia. Bagi mereka, payung hitam itu adalah tanda ketidakpuasan, tetapi juga harapan---bahwa suatu hari keadilan akan datang, meski lambat. Seruan mereka mungkin terdengar seperti di padang gurun, tapi ia tetap penting sebagai pengingat bahwa negara ini masih berhutang keadilan kepada para korban.
Selama pelanggaran HAM berat belum diselesaikan, Aksi Kamisan akan terus berjalan, berdiri di depan Istana, menuntut negara untuk memenuhi janjinya. Mereka menolak menyerah, karena bagi mereka, keadilan bukan hanya hak, melainkan juga harga diri sebuah bangsa. Suara Kamisan akan terus menggaung, meski dunia seakan diam.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H