4. Pengakuan secara simbolis terhadap beberapa kasus, seperti pernyataan permintaan maaf Jokowi dalam Peringatan Hari HAM Internasional pada Desember 2022.
Namun, meski ada langkah-langkah tersebut, keluarga korban merasa bahwa pencapaian pemerintah jauh dari kata memuaskan. Salah satu tuntutan utama mereka adalah pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus seperti Trisakti dan penculikan aktivis, yang sampai hari ini belum terealisasi.
Tuntutan Para Korban: Lebih dari Sekadar Pengakuan
Bagi keluarga korban, yang mereka inginkan bukan hanya pengakuan atau sekadar simbolisasi. Mereka menginginkan keadilan substantif---pelaku harus diadili, dan negara harus memastikan korban serta keluarganya mendapatkan hak-hak mereka, termasuk hak untuk mengetahui kebenaran.
Aksi Kamisan tidak hanya menyerukan penyelesaian kasus-kasus besar, tetapi juga menuntut perubahan struktural dalam penegakan HAM di Indonesia. Mereka ingin agar aparat keamanan yang terlibat dalam pelanggaran diberi sanksi, reformasi hukum ditegakkan, dan supremasi hukum benar-benar berlaku, terutama terhadap kasus yang melibatkan pejabat negara.
Selain itu, korban menginginkan penghentian impunitas, yang selama ini menjadi penghalang besar bagi penuntasan kasus HAM berat. Dalam banyak kasus, pelaku pelanggaran masih bebas, bahkan menduduki posisi penting di pemerintahan atau militer. Impunitas ini menunjukkan kurangnya komitmen serius dari negara dalam menghormati hak-hak korban.
Hambatan Penyelesaian Kasus HAM Berat
Salah satu alasan utama mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia berjalan lambat adalah kompleksitas politik. Banyak dari kasus ini melibatkan pihak-pihak kuat di dalam militer atau elit politik, yang membuat investigasi dan penegakan hukum sulit dijalankan.
Selain itu, ada juga faktor kurangnya kemauan politik. Meski Jokowi pernah berjanji, kenyataannya, dalam berbagai kesempatan, pemerintah terlihat enggan mengambil langkah tegas. Sebagai contoh, pembentukan pengadilan HAM ad hoc kerap diabaikan dengan alasan kurangnya bukti yang cukup, padahal keluarga korban terus berjuang untuk memperjuangkan kebenaran.
Sikap apatisme publik juga turut berkontribusi pada lambatnya penyelesaian kasus ini. Dalam banyak kasus, masyarakat yang tidak terkena dampak langsung dari pelanggaran HAM kurang peduli dengan perjuangan korban. Aksi Kamisan sering kali tidak mendapatkan perhatian yang layak dari media massa atau publik luas, seolah menjadi ritual sunyi yang berlangsung tanpa pengaruh.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?