Jokowi merupakan momen yang pantas untuk dijadikan refleksi, baik dalam hal prestasi maupun kritik yang menyertai perjalanannya sebagai Presiden Indonesia. Dalam satu dekade kepemimpinannya, Jokowi telah membawa perubahan besar, tetapi ia juga tidak luput dari berbagai tuduhan yang mengiringi langkahnya di panggung politik nasional. Beberapa kritik yang paling santer adalah tuduhan "cawe-cawe" dalam urusan di luar tanggung jawabnya, keterlibatan keluarganya dalam pemerintahan yang memicu tudingan nepotisme dan KKN, serta dianggap merusak demokrasi karena dugaan bahwa ia mempengaruhi perubahan undang-undang demi kepentingan politik keluarga.
Sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo atauTuduhan Cawe-Cawe dan Intervensi Politik
Salah satu kritik yang kerap muncul adalah tuduhan bahwa Jokowi melakukan "cawe-cawe," atau intervensi dalam hal-hal yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Tuduhan ini terutama mencuat pada masa pemilu dan pembentukan koalisi politik, di mana beberapa pihak menilai bahwa Jokowi terlalu campur tangan dalam urusan partai dan calon yang akan diusung. Namun, secara obyektif dan empiris, tuduhan tersebut tidak pernah terbukti. Banyak pengamat melihat bahwa Jokowi sebenarnya menjalankan peran strategis sebagai kepala negara yang ingin menjaga stabilitas politik dan memastikan keberlanjutan program-programnya.
Dalam salah satu wawancara dengan media asing, Jokowi pernah mengakui bahwa dirinya sangat menyadari pentingnya melakukan langkah-langkah besar yang mampu menimbulkan rasa hormat dan segan dari lawan maupun kawan politik. "Jika saya hanya menunggu dan mengikuti arus, saya tidak akan dihormati. Saya harus melakukan hal yang besar agar mereka tahu bahwa saya serius," ujarnya dalam wawancara tersebut pada awal periode pertamanya sebagai presiden. Pandangan ini menjelaskan mengapa Jokowi kerap mengambil langkah-langkah berani dalam politik, termasuk dalam membangun koalisi yang kuat dengan merangkul lawan politik, yang pada akhirnya menempatkannya dalam posisi strategis.
Nepotisme dan Tuduhan KKN
Tuduhan nepotisme dan KKN juga menjadi topik hangat yang sering diarahkan kepada Jokowi, terutama setelah anak-anaknya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, terjun ke dunia politik. Gibran menjadi Wali Kota Solo, kemudian wapres, sementara Kaesang memimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Hal ini menimbulkan tudingan bahwa Jokowi menggunakan pengaruhnya untuk mendorong karier politik anak-anaknya. Kritik ini kian tajam ketika muncul dugaan bahwa perubahan undang-undang tertentu, seperti UU Pilkada, dilakukan untuk memfasilitasi keluarganya agar lebih mudah terjun ke kancah politik.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, tuduhan tersebut lebih merupakan asumsi tanpa dasar kuat. Secara hukum, tidak ada pelanggaran yang terbukti. Anak-anak Jokowi memenangkan posisi mereka melalui proses demokratis yang sah, baik melalui pilkada maupun mekanisme partai. Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa ia tidak pernah mempengaruhi keputusan politik anak-anaknya. "Mereka memiliki hak politik masing-masing, dan saya tidak akan ikut campur," tegasnya dalam wawancara pada tahun 2022.
Merusak Demokrasi?
Tuduhan bahwa Jokowi merusak demokrasi dengan mengubah undang-undang demi kepentingan keluarganya juga sering muncul. Kritikus menyebut bahwa beberapa perubahan kebijakan, seperti revisi UU KPK dan UU Pemilu, mencederai semangat demokrasi. Namun, banyak pengamat berpendapat bahwa perubahan ini lebih terkait dengan kebutuhan memperbaiki sistem yang sudah ada daripada upaya mementingkan golongan tertentu. Jokowi sendiri selalu menekankan pentingnya melakukan reformasi di berbagai bidang, termasuk hukum dan politik, untuk memperkuat demokrasi Indonesia.
Ketika ditanya tentang berbagai tuduhan ini, Jokowi kerap merespons dengan tenang. Ia tampaknya sudah memperkirakan bahwa tantangan politik semacam ini akan muncul. Dalam satu kesempatan, ia pernah berkata, "Demi kepentingan rakyat, saya siap mempertaruhkan harga diri saya sendiri." Pernyataan ini menunjukkan bahwa Jokowi memiliki pandangan jangka panjang mengenai kepemimpinannya, dan ia tidak terlalu terganggu oleh kritik-kritik jangka pendek yang sering tidak didasarkan pada bukti kuat.
Dari Mana Sumber Kekuatan Jokowi?
Refleksi atas tuduhan dan kritik terhadap Jokowi sebenarnya mengungkapkan satu hal yang menarik: bahwa banyak dari mereka yang menuduhnya justru adalah pengagum tersembunyi. Mereka mengakui, diakui maupun tidak, bahwa Jokowi memiliki kekuatan politik yang luar biasa. Ia mampu merangkul mayoritas koalisi, termasuk lawan politiknya, dan menciptakan suasana politik yang stabil meskipun berada dalam tekanan. Jokowi, dengan gaya politik yang tidak konfrontatif, mampu menjalin hubungan dengan berbagai pihak, dari koalisi besar hingga tokoh-tokoh oposisi, tanpa kehilangan kendali atas pemerintahannya.
Ada banyak pengakuan bahwa Jokowi adalah sosok yang cepat belajar dan mampu beradaptasi dengan situasi politik. Ibarat pemain catur, Jokowi tidak bermain di satu papan catur dengan lawan yang sama. Setiap lawan diajaknya bermain di papan yang berbeda, menyelesaikan tiap persoalan politik dengan cara yang spesifik. Fleksibilitas dan adaptasi inilah yang memberikan Jokowi keunggulan dalam menghadapi berbagai tantangan politik.
Pesan Reflektif dari Jokowi
Dari semua kritik dan tuduhan yang dilayangkan, Jokowi menunjukkan bahwa dirinya tidak terjebak dalam pertarungan politik kecil. Ia lebih fokus pada pencapaian besar yang dapat membawa dampak positif bagi bangsa dan negara. Dalam refleksi ini, kita bisa memetik pesan bahwa kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga kemampuan untuk membagikan kuasa tersebut secara bijaksana dan untuk kepentingan bersama. Sikap Jokowi yang lebih mengedepankan kepentingan publik di atas harga diri pribadi menunjukkan kedewasaan politik yang patut dicontoh.
Jokowi telah menunjukkan bahwa seorang pemimpin tidak harus terus berkonfrontasi, tetapi bisa memilih jalan dialog dan konsensus tanpa mengorbankan prinsip. Kritik adalah bagian dari perjalanan seorang pemimpin, dan bagaimana ia merespons kritik tersebut adalah cermin dari kekuatannya. Dan hingga kini, Jokowi telah berhasil membuktikan bahwa ia tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga tumbuh dalam menghadapi tantangan politik yang datang bertubi-tubi.
Tuduhan cawe-cawe, nepotisme, KKN, dan merusak demokrasi memang menjadi sorotan selama 10 tahun Jokowi memimpin Indonesia. Namun, secara obyektif dan empiris, sebagian besar tuduhan ini tidak terbukti. Yang lebih terlihat adalah bagaimana Jokowi mampu menjaga stabilitas politik, menghadapi kritik dengan tenang, dan melakukan reformasi besar yang membawa dampak positif bagi Indonesia. Refleksi ini membawa kita pada kesimpulan bahwa kepemimpinan Jokowi, meskipun tidak sempurna, telah memberikan banyak pelajaran penting tentang bagaimana menghadapi tantangan politik dengan bijak.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H