Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi 10 Tahun Jokowi: Saat Anggota Keluarga Menjabat, Antara Polemik dan Kinerja

17 Oktober 2024   17:58 Diperbarui: 17 Oktober 2024   17:58 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas.com

Ketika Joko Widodo (Jokowi) mulai menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014, publik menyaksikan seorang pemimpin yang sederhana dan merakyat, jauh dari hiruk-pikuk politik dinasti. Pada saat itu, putra-putrinya---Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep---masih remaja dan lebih tertarik pada dunia bisnis daripada politik. 

Gibran memulai usahanya di bidang katering dan kemudian merambah dunia kuliner. Begitu juga Kaesang, yang setelah menyelesaikan studinya, turut terjun ke bisnis makanan. Seolah jauh dari gemerlap panggung politik, kehidupan anak-anak Jokowi tampak sederhana, selaras dengan citra sang ayah.

Namun, dalam perjalanan waktu, pepatah "buah tidak jatuh jauh dari pohonnya" tampaknya berlaku untuk keluarga Presiden Jokowi. Gibran dilirik oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo, sementara menantu Jokowi, Bobby Nasution, dicalonkan menjadi Wali Kota Medan. Langkah ini sontak memunculkan banyak spekulasi dan kritik, terutama terkait dugaan adanya nepotisme dan politik dinasti. 

Sebagai presiden yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, keterlibatan anggota keluarga dalam politik tentu menimbulkan pertanyaan: Apakah ini bagian dari permainan catur politik? Apakah ini akan mengundang kritik bahwa Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk memberi keuntungan bagi keluarganya?

Dinamika Awal: Dari Kritik hingga Pengakuan

Pada awalnya, muncul banyak kekhawatiran bahwa Gibran dan Bobby hanya menjadi pion partai politik yang mengandalkan pengaruh nama besar Jokowi. Publik pun sempat bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar layak memegang jabatan penting di daerah yang berperan strategis dalam politik nasional? Para aktivis demokrasi yang sebelumnya lantang berbicara tampak tidak begitu bersuara saat Gibran dan Bobby mencalonkan diri. Partai pengusungnya, PDIP, juga tampak solid mendukung pencalonan mereka, tanpa mempermasalahkan faktor kekerabatan dengan Presiden.

Namun, seiring berjalannya waktu, penilaian masyarakat mulai berubah. Gibran dan Bobby berhasil membuktikan kemampuan mereka sebagai pemimpin daerah. 

Di Solo, Gibran memperkenalkan banyak kebijakan inovatif yang mencerminkan semangat kaum muda. Bobby di Medan juga tidak kalah inovatif dengan upaya pembaruan yang ia jalankan. Gaya kepemimpinan mereka yang segar dan adaptif mulai mendapat apresiasi. 

Bahkan beberapa kalangan yang semula kritis, termasuk penulis di berbagai platform seperti Kompasiana, mulai menerima bahwa kinerja dan integritas mereka adalah batu uji yang lebih penting daripada asal-usul mereka sebagai anak atau menantu seorang presiden. Jika seorang pemimpin menunjukkan kualitas dan dipilih secara demokratis oleh rakyat, apakah salah untuk mendukung mereka? Kuncinya adalah keterbukaan, transparansi, dan hasil nyata yang dirasakan oleh masyarakat.

Keterlibatan Gibran dan Bobby: Awal Dinasti Politik atau Kebetulan?

Polemik semakin memuncak ketika Gibran dicalonkan sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Keterlibatannya di tingkat nasional jelas menarik perhatian, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengubah undang-undang yang mengatur batasan usia calon presiden dan wakil presiden. Dengan perubahan ini, Gibran yang baru berusia 36 tahun kini memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai cawapres.

Di balik keputusan ini, ada kontroversi yang cukup besar. Ketua MK saat ini, Anwar Usman, adalah ipar Jokowi, yang menikah dengan adik kandungnya. Tidak sedikit yang menuduh bahwa keputusan MK adalah bentuk "cawe-cawe" Jokowi untuk membuka jalan bagi putranya. Para analis politik oposisi dan aktivis demokrasi bersuara lantang, menuduh Jokowi telah merusak demokrasi dan melakukan nepotisme yang terang-terangan. Padahal, sebelumnya mereka tidak banyak mempermasalahkan saat Gibran dan Bobby maju dalam pemilihan wali kota.

Jika melihat lebih dalam, proses pencalonan Gibran tidak berbeda dengan proses pemilu sebelumnya. Gibran dicalonkan oleh partai politik dan akan dipilih melalui proses demokrasi oleh rakyat. Mengenai keputusan MK, ada sembilan hakim yang terlibat dalam pengambilan keputusan ini, bukan hanya ipar Jokowi. Keputusan tersebut juga didukung oleh empat hakim lainnya yang ikut menyetujui melalui voting. Dalam sidang etik, terbukti bahwa tidak ada intervensi langsung dari Jokowi, meskipun ada rumor tentang keterlibatan orang dalam Istana.

Fenomena Jokowi: Kritik, Kinerja, dan Dukungan Publik

Sepanjang 10 tahun kepemimpinannya, Jokowi telah menghadapi berbagai kritik dan tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, sikap tenangnya dalam menghadapi serangan politik dan tuduhan nepotisme tetap konsisten. Terlepas dari segala kritik yang dilontarkan, survei terakhir oleh LSI Denny JA menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi tetap tinggi, yakni 80,8 persen. Angka ini menjadi bukti bahwa meskipun ada protes dan serangan politik, mayoritas rakyat Indonesia masih percaya pada kepemimpinan Jokowi dan hasil kerja yang telah ia capai.

Refleksi Akhir: Kinerja dan Integritas di Atas Segalanya

Dari kasus Gibran dan Bobby, satu hal yang dapat kita refleksikan adalah pentingnya menilai seorang pemimpin dari kinerja dan integritas, bukan semata dari latar belakang keluarganya. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk berkompetisi secara adil, terlepas dari siapa mereka atau dari mana mereka berasal. Selama seorang calon dipilih secara demokratis oleh rakyat, maka biarlah rakyat yang menjadi hakim terbaik.

Tentu, ada tantangan besar yang harus dihadapi oleh Jokowi dan keluarganya dalam waktu mendatang. Seiring dengan meningkatnya keterlibatan keluarga dalam politik, sorotan akan semakin tajam, dan kritik akan semakin keras. Namun, selama proses demokrasi berjalan dengan transparan dan rakyat tetap diberi ruang untuk memilih berdasarkan kinerja, bukan karena dinasti, demokrasi Indonesia akan terus bertumbuh.

Pada akhirnya, masyarakat dan aktivis yang mengaku sebagai pejuang demokrasi juga harus konsisten dalam menerapkan standar mereka. Jika sebelumnya mereka menerima pencalonan Gibran dan Bobby di tingkat daerah, mengapa kini mereka berbalik arah ketika Gibran mencalonkan diri di tingkat nasional? Bukankah prinsip demokrasi tetap sama, terlepas dari level jabatan yang diincar?

Bagi Jokowi, ujian ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa integritas dan kinerjanya tidak dipengaruhi oleh hubungan keluarga. Di tengah arus kritik dan sorotan, Jokowi tetap tenang dan fokus bekerja untuk menyelesaikan masa jabatannya dengan baik, sambil membuktikan bahwa keluarga dalam politik bukanlah akhir dari demokrasi, melainkan bagian dari dinamika yang harus dijalankan dengan prinsip yang kuat.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun