Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jimly Asshiddiqie: Jika Hakim PTUN Menggagalkan Gibran Dilantik maka Hakim Bisa Dipidana, Kok Bisa?

12 Oktober 2024   18:27 Diperbarui: 12 Oktober 2024   19:09 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Nama Gibran Rakabuming Raka belakangan ini semakin santer diperbincangkan setelah ia bersama Prabowo Subianto ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024. Namun, langkahnya menuju kursi Wakil Presiden dihadang oleh gugatan yang diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Gugatan tersebut bertujuan untuk menggagalkan pelantikan Gibran sebagai Wakil Presiden, sebuah langkah yang banyak menuai kontroversi di ranah hukum dan politik.

Salah satu tokoh yang memberikan pandangan tegas mengenai kasus ini adalah ahli tata negara senior, Prof. Jimly Asshiddiqie, yang secara gamblang menyatakan bahwa PTUN tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan keputusan yang telah diambil oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hasil Pilpres. Bahkan, Jimly memperingatkan bahwa jika hakim PTUN mencoba membatalkan pelantikan Gibran, mereka bisa terkena sanksi pidana.

Pandangan Jimly Asshiddiqie: "Sah dan Final"

Dalam wawancara terbarunya, Jimly menegaskan bahwa putusan MK mengenai hasil Pilpres adalah final dan mengikat. "Sah atau tidaknya hasil Pilpres sudah final dan mengikat ketika MK mengetuk palu dan memutuskan Prabowo dan Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024," ujarnya. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam UUD 1945 dan UU Pemilu, yang secara tegas menyatakan bahwa MK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang memutuskan sengketa hasil pemilu.

Ia menekankan bahwa "PTUN tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan apa yang sudah diputuskan oleh KPU dan MK." Menurutnya, PTUN hanya berwenang mengadili perkara administrasi yang melibatkan keputusan pejabat tata usaha negara, bukan keputusan terkait pemilihan umum atau hasil Pilpres.

Peran KPU, Bawaslu, dan MK dalam Pemilu dan Pilpres

Agar lebih memahami permasalahan ini, penting untuk melihat kembali peran lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu dan sengketa hasilnya. Setiap lembaga memiliki tugas dan wewenang yang spesifik, yang semuanya diatur dalam undang-undang:

Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga independen yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu, termasuk pemilu presiden. KPU berperan sebagai pelaksana pemilu yang menetapkan hasil rekapitulasi suara nasional.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berfungsi sebagai pengawas penyelenggaraan pemilu, memastikan bahwa proses pemilu berlangsung jujur dan adil. Bawaslu juga berwenang menangani pelanggaran administrasi pemilu serta sengketa antar peserta pemilu yang sifatnya administratif.

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilu, termasuk Pilpres. Keputusan MK bersifat final dan mengikat, yang artinya setelah MK menetapkan hasil Pilpres, tidak ada lagi upaya hukum lain yang bisa dilakukan untuk mengubah keputusan tersebut.

Wewenang PTUN: Di Mana Letak Batasannya?

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sesuai dengan fungsi dan kewenangannya, hanya mengadili perkara administrasi negara, seperti perselisihan yang timbul dari keputusan pejabat pemerintahan terkait tata usaha negara. Dengan demikian, PTUN tidak berwenang mengadili perkara hasil Pilpres atau keputusan terkait pemilu, yang merupakan domain KPU dan MK. Seperti yang dijelaskan Jimly, "PTUN tidak bisa mengubah hasil pemilu yang telah diputuskan oleh KPU dan dikukuhkan oleh MK."

Namun, terlepas dari jelasnya wewenang PTUN, PDIP tetap ngotot membawa kasus ini ke pengadilan tersebut. Langkah ini memicu pertanyaan besar mengenai apa sebenarnya tujuan politik di balik gugatan tersebut. Apakah ini murni upaya hukum, atau ada motif politik yang lebih dalam?

Mengapa PDIP Membawa Kasus Ini ke PTUN?

Banyak pihak menilai tindakan PDIP ini sebagai langkah politik untuk menekan hasil Pilpres yang dianggap tidak menguntungkan bagi mereka. Dalam kacamata politik, membawa kasus ini ke PTUN dapat dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan pengaruh di tengah kekalahan calon yang diusung PDIP. Namun, langkah ini juga dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan yang sia-sia, mengingat MK sudah menetapkan hasil Pilpres secara final.

Pandangan Jimly Asshiddiqie terhadap hal ini cukup jelas. Dalam hal ini langkah PDIP membawa kasus ini ke PTUN bukanlah cara yang tepat dan bisa merusak sistem hukum yang telah dibangun. Dari pernyataan ini bisa disimpulkan sebagai bahwa jika terjadi permasalahan dalam proses pemilu, jalur yang benar adalah melalui Bawaslu atau MK, bukan PTUN.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Jika Terjadi Sengketa Pilpres?

Jika terjadi permasalahan atau sengketa dalam pemilu, langkah yang paling tepat adalah mengikuti mekanisme yang telah diatur dalam undang-undang. Bawaslu dan MK adalah dua lembaga yang berperan dalam menyelesaikan sengketa pemilu. Bawaslu menangani pelanggaran administrasi selama proses pemilu, sedangkan MK menangani sengketa hasil pemilu.

Jimly Asshiddiqie menyarankan agar proses pemilu dihormati dan dilalui sesuai dengan koridor hukum yang ada. "Kita harus menghormati keputusan MK yang sudah final dan mengikat. Tidak ada gunanya membawa kasus ini ke pengadilan yang tidak berwenang, karena itu hanya akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di mata publik," tegasnya.

Pesan Jimly: Hormati Hukum dan Demokrasi

Kasus ini memberikan banyak pelajaran bagi proses demokrasi di Indonesia. Salah satunya adalah pentingnya menghormati institusi hukum dan keputusan yang telah diambil sesuai mekanisme yang berlaku. Usaha PDIP membawa kasus ini ke PTUN justru dapat memperburuk citra mereka di mata publik, karena dianggap tidak memahami atau menghormati batas wewenang lembaga-lembaga hukum yang ada.

Pada akhirnya, Jimly Asshiddiqie berpesan bahwa semua pihak, baik itu partai politik maupun masyarakat, harus menjaga keutuhan proses demokrasi dan supremasi hukum. "Sistem demokrasi kita sudah memiliki mekanisme yang jelas. Jangan sampai tindakan-tindakan yang tidak tepat merusak kepercayaan publik terhadap sistem tersebut," tutupnya.

Apakah Langkah PDIP Tepat?

Dari semua paparan di atas, jelas bahwa langkah PDIP membawa kasus ini ke PTUN adalah tindakan yang tidak tepat. PTUN tidak berwenang mengadili sengketa hasil Pilpres, dan keputusan MK adalah final serta mengikat. Jika ada pihak yang merasa tidak puas dengan hasil pemilu, mereka seharusnya mengajukan sengketa ke MK, bukan PTUN. Langkah PDIP justru mengaburkan jalur hukum yang benar dan dapat memperkeruh situasi politik di Indonesia.

Dengan demikian, pesan dari Jimly Asshiddiqie sangat jelas: hormati proses hukum yang berlaku dan jangan merusak tatanan demokrasi hanya demi kepentingan politik sesaat.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun