SBY) memberikan sebuah pesan yang menarik bagi pemerintahan baru di bawah pimpinan Prabowo Subianto. SBY, mantan Presiden Indonesia dua periode, menekankan agar pemerintahan yang baru nanti tidak bersikap anti kritik.Â
Dalam peluncuran bukunya baru-baru ini, Susilo Bambang Yudhoyono (Sebagai seorang politisi senior yang pernah memimpin negeri ini, nasihat tersebut jelas merupakan saran yang bijak dan perlu mendapat perhatian serius.Kritik adalah bagian integral dari demokrasi. Sebuah pemerintahan yang sehat harus terbuka terhadap kritik untuk dapat terus berkembang dan memperbaiki diri.Â
Namun, di era digital saat ini, definisi kritik tampaknya menjadi kabur. Banyak orang sulit membedakan antara kritik yang membangun, ujaran kebencian, penghinaan, dan bahkan hoaks. Mereka sering menganggap semua hal tersebut sebagai bagian dari "kebebasan berpendapat" dan mengklaim bahwa segala bentuk ekspresi, tak peduli seberapa kasar atau destruktif, adalah kritik yang sah.
Kritik vs. Penghinaan dan Ujaran Kebencian
SBY tentu tidak berbicara tanpa dasar. Fenomena kritik yang bercampur dengan ujaran kebencian telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di era media sosial. Kita bisa melihat bagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya menjadi sasaran banyak serangan pribadi yang lebih sering berupa penghinaan dan ujaran kebencian daripada kritik yang konstruktif. Bahkan, beberapa di antaranya sudah mengarah pada tindakan makar, meski tindakan tersebut dilakukan secara terang-terangan di ruang publik.
Sebagai presiden, Jokowi tampaknya memilih untuk tidak terlalu memperdulikan serangan-serangan tersebut, meskipun dalam beberapa kasus, langkah hukum sudah ditempuh. Namun, pendekatan yang relatif lunak ini menimbulkan keberanian di kalangan tertentu untuk terus mengulangi serangan yang sama. Mereka merasa kebal hukum dan menganggap semua bentuk pernyataan kasar sebagai bentuk kritik yang sah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat benar-benar memahami batasan antara kritik yang membangun dan penghinaan?
SBY Pernah Membawa Kritik ke Ranah Hukum
Menariknya, SBY sendiri bukanlah sosok yang selalu membiarkan kritik atau penghinaan tanpa respons. Pada tahun 2007, SBY pernah membawa kasus ke pengadilan ketika seorang aktivis, Eggi Sudjana, dituding menyerang dirinya secara pribadi. Eggi menyebut SBY sebagai pemimpin yang gagal dan menudingnya melakukan nepotisme. Kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan, namun menunjukkan bahwa SBY memiliki batasan yang jelas tentang apa yang ia anggap sebagai kritik yang dapat diterima dan penghinaan yang tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Kejadian ini menjadi refleksi penting, bahwa ada saat-saat di mana sebuah kritik bisa dianggap terlalu jauh hingga masuk ke ranah hukum. Namun, apakah sikap ini juga yang diharapkan dari pemerintahan Prabowo?
Pemerintahan Prabowo: Terbuka Terhadap Kritik, Tetapi Tegas?
Menyoal pemerintahan Prabowo mendatang, banyak yang bertanya-tanya, apakah para pengkritik Jokowi yang berani menghina dan mencaci-maki secara terbuka akan menunjukkan keberanian yang sama terhadap Prabowo? Penulis merasa ragu. Prabowo dikenal sebagai sosok yang tegas dan memiliki pendukung militan. Dengan karakter Prabowo yang berbeda dari Jokowi, tampaknya mereka yang dulu berani melontarkan kritik keras mungkin akan berpikir dua kali sebelum melakukannya di bawah kepemimpinan Prabowo.
Namun, meskipun mungkin lebih tegas, bukan berarti Prabowo akan menutup diri dari kritik. Prabowo sudah menunjukkan keterbukaannya terhadap kritik, terutama jika kritik tersebut bersifat konstruktif dan bertujuan untuk membangun. Kritik yang membangun, menurutnya, adalah sebuah bagian yang esensial dari demokrasi yang sehat. Ia pernah menyampaikan bahwa dirinya menghargai pandangan yang berbeda dan siap mendengar jika itu bermanfaat bagi bangsa.
Masyarakat Harus Belajar Memahami Kritik yang Membangun
Namun, tantangan sebenarnya terletak pada masyarakat. Banyak orang di Indonesia tampaknya masih perlu belajar membedakan antara kritik yang membangun dan ujaran kebencian yang destruktif. Kritik yang membangun harus didasarkan pada fakta, argumen yang logis, dan bertujuan untuk memberikan solusi. Sebaliknya, ujaran kebencian sering kali tidak didasarkan pada fakta, melainkan hanya bersifat menyerang individu secara personal tanpa tujuan yang jelas selain menimbulkan perpecahan.
Sebagai contoh, kritik yang membangun terhadap pemerintahan bisa berupa masukan yang konkret mengenai kebijakan yang dianggap tidak efektif. Misalnya, jika ada kebijakan ekonomi yang dinilai kurang berpihak pada rakyat kecil, seorang pengkritik bisa memberikan data atau solusi alternatif yang lebih berpihak kepada masyarakat. Di sisi lain, mengatakan bahwa seorang pemimpin "tidak berguna" atau "harus mundur" tanpa dasar yang jelas hanyalah bentuk penghinaan yang tidak produktif.
Selain itu, masyarakat juga perlu memahami bahwa kebebasan berpendapat bukanlah kebebasan untuk menghina. Setiap negara demokratis memiliki batasan hukum yang jelas mengenai ujaran kebencian dan penghinaan. Bahkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Jerman, undang-undang yang mengatur ujaran kebencian cukup tegas. Di Indonesia, kita memiliki UU ITE yang mengatur penggunaan internet dan media sosial agar tidak digunakan untuk menyebar hoaks dan ujaran kebencian.
Bagaimana Seharusnya Masyarakat Bersikap?
Agar demokrasi dapat berjalan dengan baik di Indonesia, masyarakat harus memahami peran kritik yang sehat dalam pembangunan bangsa. Kritik yang sehat dapat membantu pemerintah melihat celah dalam kebijakannya dan memperbaikinya untuk kebaikan bersama. Namun, masyarakat juga harus menyadari bahwa penghinaan, ujaran kebencian, dan hoaks hanya akan merusak fondasi demokrasi itu sendiri.
Ada beberapa langkah yang bisa diambil agar masyarakat lebih cerdas dalam mengkritik:
Pendidikan Kritis: Pendidikan tentang berpikir kritis dan mengajarkan perbedaan antara kritik yang membangun dan penghinaan harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di Indonesia.
Etika Bermedia Sosial: Penggunaan media sosial yang bertanggung jawab harus terus disosialisasikan. Setiap warga negara perlu memahami bahwa kebebasan berpendapat di media sosial tetap memiliki batasan yang diatur oleh hukum.
Kesadaran Hukum: Masyarakat perlu disadarkan tentang konsekuensi hukum dari ujaran kebencian dan penghinaan. Pelanggaran hukum di ranah ini dapat berdampak serius, baik bagi individu maupun negara.
Peran Media: Media memiliki peran penting dalam menyeimbangkan kritik dan informasi yang objektif. Media yang bertanggung jawab harus memisahkan antara opini pribadi dan fakta yang bisa diverifikasi.
Nasihat SBY kepada Prabowo adalah pengingat penting bagi kita semua bahwa kritik adalah bagian penting dari demokrasi. Namun, kritik yang sehat harus dibedakan dari penghinaan dan ujaran kebencian. Hanya dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan pemerintahan yang lebih baik untuk semua.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H