Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

PDIP Pecat Tia Rahmania: Partai vs Suara Rakyat?

29 September 2024   08:11 Diperbarui: 29 September 2024   08:21 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pemecatan Tia Rahmania sebagai anggota DPR terpilih oleh PDIP telah memicu kehebohan di dunia politik Indonesia. Tuduhan yang diarahkan kepadanya adalah penggelembungan suara, sehingga ia digantikan oleh rekan separtainya yang sebenarnya tidak memenuhi syarat suara secara langsung. Ironi besar muncul ketika PDIP, yang selalu membanggakan diri sebagai partai pejuang demokrasi dan pembela wong cilik, justru terlibat dalam keputusan yang tampaknya mengabaikan suara rakyat. Namun, kasus ini bukan yang pertama kali terjadi di tubuh PDIP, melainkan cerminan dari aturan internal yang ketat, seperti yang tertuang dalam mekanisme komandante. 

Tentu juga tuduhan penggelembungan suara ini harus benar dibuktikan secara hukum lewat mekanisme KPU dan Bawaslu. Jika kedua instansi ini sudah membuat keputusan bahwa Tia Rahmania sudah lolos dan boleh dilantik, mengapa PDIP kemudian memutuskan secara internal dan memecat kadernya ini?

Mengapa Tia Rahmania Dipecat?

Tia Rahmania, yang sempat mencalonkan diri di Pemilu 2024, diduga melakukan penggelembungan suara untuk memastikan kemenangannya. Akibat dari tuduhan ini, PDIP memutuskan untuk mencopotnya dan menggantikannya dengan rekan satu partainya, meskipun suara yang dimiliki rekan tersebut belum cukup untuk lolos secara wajar. Keputusan ini menunjukkan bahwa PDIP berpegang teguh pada aturan internal partai, bahkan ketika hal itu bertentangan dengan preferensi pemilih.

Sikap PDIP yang lebih mengedepankan loyalitas partai ketimbang aspirasi rakyat ini bukanlah hal baru. Partai berlambang banteng ini memiliki aturan internal yang sangat ketat, salah satunya adalah mekanisme komandante. Dalam mekanisme ini, anggota partai yang tidak memenuhi target suara yang ditetapkan partai bisa dikenakan sanksi, salah satunya adalah tidak dilantik meskipun memenangkan suara di dapil mereka. Hal ini memberikan kesan bahwa PDIP lebih mengutamakan disiplin internal daripada suara rakyat yang memilih mereka.

Kasus-Kasus Lain: Antara Partai dan Pemilih

Tia Rahmania bukanlah satu-satunya korban dari mekanisme ketat partai ini. Di masa lalu, PDIP juga telah mengambil langkah serupa terhadap sejumlah calon anggota DPR dan DPRD terpilih. Meskipun mereka berhasil memenangkan suara pemilih, PDIP memilih untuk tidak melantik mereka karena dianggap tidak memenuhi aturan internal partai.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana partai lebih memprioritaskan kepentingan internal di atas suara pemilih, sesuatu yang bertolak belakang dengan citra partai sebagai pembela wong cilik dan pejuang demokrasi. Mekanisme ketat dan komandante ini, meski dianggap penting untuk menjaga disiplin partai, mengorbankan aspirasi pemilih yang telah mempercayakan suara mereka kepada kandidat terpilih. Pertanyaan yang mengemuka adalah, apakah sikap seperti ini menguntungkan PDIP dalam jangka panjang?

Konsep "Petugas Partai" dan Polemik Jokowi

Selain aturan komandante, PDIP juga menerapkan konsep "petugas partai," yang mewajibkan semua anggota partai, apa pun jabatannya, untuk tunduk pada kebijakan partai. Polemik muncul ketika konsep ini dikaitkan dengan Presiden Jokowi, yang juga merupakan kader PDIP. Sebagai presiden, Jokowi memegang posisi tertinggi di negara ini dan harus menjalankan amanat rakyat, bukan amanat partai.

Namun, loyalitas kepada partai sering kali menjadi beban yang harus dipikul oleh Jokowi. Tuntutan sebagai petugas partai ini memicu perdebatan mengenai sejauh mana presiden harus patuh pada kebijakan partai, terutama ketika kepentingan partai tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat.

Apakah PDIP Akan Diuntungkan?

Dari sudut pandang strategi internal, PDIP mungkin merasa bahwa aturan-aturan ini diperlukan untuk menjaga soliditas partai dan memastikan loyalitas kader. Disiplin yang ketat dianggap sebagai modal penting untuk memenangkan kontestasi politik di Indonesia yang semakin kompetitif. Namun, pertanyaannya, apakah dalam jangka panjang, sikap semacam ini akan menguntungkan PDIP?

Kelemahan yang Mulai Tampak:

1. Kehilangan Kepercayaan Pemilih: Dengan tidak melantik calon terpilih yang telah mendapat dukungan suara rakyat, PDIP tampak tidak menghargai suara pemilih. Ini bisa menggerus kepercayaan rakyat terhadap partai yang selalu mengklaim sebagai pembela wong cilik. Suara rakyat bisa beralih ke partai lain yang lebih memperjuangkan aspirasi pemilih.

2. Kader Takut Partai: Aturan ketat seperti komandante dan konsep petugas partai yang terkesan kaku bisa menciptakan suasana internal yang represif. Alih-alih melahirkan kader yang matang secara politik, partai malah mencetak kader yang takut akan partai dan lebih berorientasi pada kepentingan partai ketimbang rakyat.

3. Demokrasi Internal yang Terganggu: Disiplin partai yang berlebihan dapat mengganggu mekanisme demokrasi internal partai itu sendiri. Kader-kader partai lebih takut melawan aturan partai daripada berani mengambil keputusan berdasarkan nurani dan aspirasi rakyat.

Membentuk Kader yang Kritis atau Patuh?

Dalam konteks politik modern, partai yang kuat adalah partai yang mampu menyeimbangkan antara disiplin internal dan aspirasi rakyat. Partai yang hanya mengandalkan kader yang tunduk pada perintah partai tanpa memiliki sikap kritis yang sehat mungkin tidak akan mampu bertahan lama dalam politik demokratis.

PDIP saat ini lebih tampak sebagai partai yang memprioritaskan disiplin dan loyalitas mutlak, tetapi hal ini justru bisa menjadi bumerang dalam jangka panjang. Kader-kader partai yang dibentuk dalam atmosfer ketakutan lebih cenderung menjadi pelaksana kebijakan tanpa refleksi kritis, sehingga partai kehilangan dinamika dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan yang cepat di tengah masyarakat.

Bagaimana Seharusnya Sikap PDIP?

Agar menjadi partai modern yang demokratis, PDIP perlu melakukan beberapa hal penting:

1. Mendengarkan Aspirasi Rakyat: PDIP perlu mengingat bahwa dalam demokrasi, suara rakyat adalah penentu utama. Memecat atau tidak melantik anggota terpilih yang telah mendapat dukungan pemilih tanpa alasan yang jelas atau melanggar aturan yang transparan hanya akan menciptakan kesan bahwa partai tidak menghargai rakyat.

2. Membuka Ruang Demokrasi Internal: Disiplin partai memang penting, tetapi hal itu harus diimbangi dengan ruang untuk debat dan perbedaan pendapat di dalam partai. Partai yang modern dan demokratis adalah partai yang mampu menghargai perbedaan pandangan dan membiarkan kader-kadernya tumbuh secara politik, bukan sekadar menjadi "petugas partai" yang patuh tanpa pertanyaan.

3. Menyeimbangkan Kepentingan Partai dan Negara: Dalam konteks petugas partai, PDIP perlu menegaskan kembali bahwa ketika seorang kader partai memegang jabatan publik, loyalitas utamanya adalah kepada rakyat, bukan semata-mata kepada partai. Keseimbangan antara kepentingan partai dan kepentingan negara harus selalu dijaga.

Dengan demikian, jika PDIP ingin terus menjadi kekuatan politik yang dominan di Indonesia, ia harus mampu menyeimbangkan antara kedisiplinan partai dan penghargaan terhadap demokrasi serta suara rakyat. Jika tidak, PDIP mungkin akan menghadapi tantangan serius di masa depan dari pemilih yang merasa suaranya diabaikan oleh partai yang seharusnya menjadi pembela mereka.***MG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun