Pemecatan Tia Rahmania sebagai anggota DPR terpilih oleh PDIP telah memicu kehebohan di dunia politik Indonesia. Tuduhan yang diarahkan kepadanya adalah penggelembungan suara, sehingga ia digantikan oleh rekan separtainya yang sebenarnya tidak memenuhi syarat suara secara langsung. Ironi besar muncul ketika PDIP, yang selalu membanggakan diri sebagai partai pejuang demokrasi dan pembela wong cilik, justru terlibat dalam keputusan yang tampaknya mengabaikan suara rakyat. Namun, kasus ini bukan yang pertama kali terjadi di tubuh PDIP, melainkan cerminan dari aturan internal yang ketat, seperti yang tertuang dalam mekanisme komandante.Â
Tentu juga tuduhan penggelembungan suara ini harus benar dibuktikan secara hukum lewat mekanisme KPU dan Bawaslu. Jika kedua instansi ini sudah membuat keputusan bahwa Tia Rahmania sudah lolos dan boleh dilantik, mengapa PDIP kemudian memutuskan secara internal dan memecat kadernya ini?
Mengapa Tia Rahmania Dipecat?
Tia Rahmania, yang sempat mencalonkan diri di Pemilu 2024, diduga melakukan penggelembungan suara untuk memastikan kemenangannya. Akibat dari tuduhan ini, PDIP memutuskan untuk mencopotnya dan menggantikannya dengan rekan satu partainya, meskipun suara yang dimiliki rekan tersebut belum cukup untuk lolos secara wajar. Keputusan ini menunjukkan bahwa PDIP berpegang teguh pada aturan internal partai, bahkan ketika hal itu bertentangan dengan preferensi pemilih.
Sikap PDIP yang lebih mengedepankan loyalitas partai ketimbang aspirasi rakyat ini bukanlah hal baru. Partai berlambang banteng ini memiliki aturan internal yang sangat ketat, salah satunya adalah mekanisme komandante. Dalam mekanisme ini, anggota partai yang tidak memenuhi target suara yang ditetapkan partai bisa dikenakan sanksi, salah satunya adalah tidak dilantik meskipun memenangkan suara di dapil mereka. Hal ini memberikan kesan bahwa PDIP lebih mengutamakan disiplin internal daripada suara rakyat yang memilih mereka.
Kasus-Kasus Lain: Antara Partai dan Pemilih
Tia Rahmania bukanlah satu-satunya korban dari mekanisme ketat partai ini. Di masa lalu, PDIP juga telah mengambil langkah serupa terhadap sejumlah calon anggota DPR dan DPRD terpilih. Meskipun mereka berhasil memenangkan suara pemilih, PDIP memilih untuk tidak melantik mereka karena dianggap tidak memenuhi aturan internal partai.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana partai lebih memprioritaskan kepentingan internal di atas suara pemilih, sesuatu yang bertolak belakang dengan citra partai sebagai pembela wong cilik dan pejuang demokrasi. Mekanisme ketat dan komandante ini, meski dianggap penting untuk menjaga disiplin partai, mengorbankan aspirasi pemilih yang telah mempercayakan suara mereka kepada kandidat terpilih. Pertanyaan yang mengemuka adalah, apakah sikap seperti ini menguntungkan PDIP dalam jangka panjang?
Konsep "Petugas Partai" dan Polemik Jokowi
Selain aturan komandante, PDIP juga menerapkan konsep "petugas partai," yang mewajibkan semua anggota partai, apa pun jabatannya, untuk tunduk pada kebijakan partai. Polemik muncul ketika konsep ini dikaitkan dengan Presiden Jokowi, yang juga merupakan kader PDIP. Sebagai presiden, Jokowi memegang posisi tertinggi di negara ini dan harus menjalankan amanat rakyat, bukan amanat partai.
Namun, loyalitas kepada partai sering kali menjadi beban yang harus dipikul oleh Jokowi. Tuntutan sebagai petugas partai ini memicu perdebatan mengenai sejauh mana presiden harus patuh pada kebijakan partai, terutama ketika kepentingan partai tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Apakah PDIP Akan Diuntungkan?
Dari sudut pandang strategi internal, PDIP mungkin merasa bahwa aturan-aturan ini diperlukan untuk menjaga soliditas partai dan memastikan loyalitas kader. Disiplin yang ketat dianggap sebagai modal penting untuk memenangkan kontestasi politik di Indonesia yang semakin kompetitif. Namun, pertanyaannya, apakah dalam jangka panjang, sikap semacam ini akan menguntungkan PDIP?