Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional: Sebuah Langkah Kontroversial yang Mengandung Banyak Pertanyaan

28 September 2024   18:43 Diperbarui: 28 September 2024   18:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Antara

Namun, Soeharto adalah figur yang jauh lebih kompleks. Di satu sisi, ia adalah tokoh militer yang berhasil mengonsolidasikan kekuasaan dan membangun Indonesia. Di sisi lain, masa pemerintahannya diwarnai dengan pelanggaran HAM, korupsi, dan otoritarianisme. Apakah seorang pemimpin dengan warisan yang begitu kontroversial pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional?

Mekanisme Pengkajian Ulang Keputusan MPR

Secara teori, keputusan MPR bisa dikaji ulang atau bahkan dibatalkan jika terdapat tekanan yang cukup kuat dari masyarakat atau jika ada alasan hukum yang mendasar. Masyarakat atau organisasi yang merasa dirugikan dapat mengajukan protes, baik melalui mekanisme formal maupun informal, seperti judicial review atau gerakan sosial. Namun, realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa keputusan-keputusan besar sering kali sulit diubah, terutama jika ada dukungan dari kekuatan politik yang dominan.

Seiring dengan wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, akan sangat penting bagi MPR untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan. Sejarah tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Pendekatan yang lebih inklusif, dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, terutama para korban pelanggaran HAM, akan sangat membantu dalam menjaga legitimasi MPR sebagai lembaga representatif yang benar-benar mencerminkan suara rakyat.

Kembali ke Fungsi Musyawarah MPR

MPR adalah singkatan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang secara harfiah berarti lembaga yang berfungsi untuk bermusyawarah, atau berdiskusi, dengan rakyat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fungsi ini tampaknya semakin dilupakan. Keputusan-keputusan penting, seperti penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR hingga usulan gelar Pahlawan Nasional, tampaknya diambil tanpa melalui proses konsultasi yang luas.

Masyarakat berhak menuntut agar MPR kembali menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mewakili rakyat secara utuh. MPR harus kembali membuka diri untuk mendengarkan aspirasi dari seluruh elemen bangsa, termasuk mereka yang telah lama terpinggirkan. Jika tidak, lembaga ini akan semakin kehilangan kepercayaan publik.

Revisi dan Rekonsiliasi Sejati

Jika rekonsiliasi nasional adalah tujuan utama dari usulan ini, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membuka ruang dialog yang lebih luas. MPR harus memastikan bahwa suara-suara yang selama ini terabaikan, seperti keluarga korban pelanggaran HAM, dapat didengar dan dipertimbangkan sebelum keputusan besar diambil.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional tidak boleh sekadar menjadi alat politik untuk merajut kembali citra Soeharto atau mendukung kepentingan tertentu. Gelar ini harus mencerminkan nilai-nilai yang benar-benar membangun bangsa, baik dari segi perjuangan, keberanian, maupun pengorbanan.

Dalam konteks ini, mungkin sudah saatnya MPR merevisi caranya dalam mengambil keputusan penting. Rekonsiliasi sejati tidak bisa tercapai tanpa adanya keadilan bagi semua pihak. ***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun