Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Ada Agen Propaganda dalam Pembusukan Jokowi dan Keluarganya?

27 September 2024   11:56 Diperbarui: 27 September 2024   11:56 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: bigstock.com

Dalam dunia politik, pencitraan dan propaganda sering kali menjadi alat yang digunakan untuk membangun atau menghancurkan reputasi seseorang. Dalam konteks ini, kita bisa menelusuri bagaimana salah satu tokoh besar dalam sejarah, Joseph Goebbels, yang merupakan Menteri Propaganda Nazi di bawah Adolf Hitler, menggunakan propaganda untuk menghancurkan musuh-musuh rezim, terutama kaum Yahudi.

Goebbels menggunakan taktik yang sederhana namun sangat efektif: pengulangan narasi, betapapun absurd atau tidak masuk akalnya, hingga orang-orang mempercayai kebohongan tersebut. Taktik ini kemudian berkontribusi pada salah satu peristiwa terburuk dalam sejarah manusia, Holocaust, di mana enam juta orang Yahudi tewas.

Menariknya, teori propaganda ini nampaknya menjadi salah satu pendekatan yang digunakan untuk menyerang Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sepuluh tahun masa kepemimpinannya. Munculnya tuduhan, fitnahan, dan narasi negatif yang tak kunjung berhenti terhadap Jokowi---mulai dari asal usulnya, pendidikan, hingga keluarganya---membuat banyak orang mulai percaya bahwa ini bukanlah serangan yang sporadis, melainkan bagian dari kampanye propaganda yang terorganisir.


Tuduhan Tidak Berdasar yang Diulang-ulang

Tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Jokowi selama bertahun-tahun sering kali terdengar tidak masuk akal. Salah satu yang paling absurd adalah klaim bahwa Jokowi bukan lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan ijazahnya palsu. Padahal, sangat mudah untuk memverifikasi hal ini melalui pihak UGM, teman-teman seangkatannya, dan bukti-bukti lainnya. Namun, narasi ini terus diulang-ulang di media sosial, bahkan dibawa ke ranah pengadilan, sehingga ada sebagian orang yang percaya bahwa tuduhan tersebut benar.

Serangan terhadap Jokowi tidak hanya berhenti di dirinya, tetapi juga meluas ke keluarganya, termasuk anak dan menantunya. Contoh yang paling mencolok adalah kasus tuduhan akun "Fufufafa" yang tiba-tiba dikaitkan dengan Gibran Rakabuming Raka, meski akun tersebut sudah lama tidak aktif. Kaesang Pangarep, yang bukan pejabat negara, dipaksa untuk mengakui gratifikasi, sementara banyak pejabat lain yang menggunakan jet pribadi sama sekali tidak disorot seperti dirinya.

Bahkan menantu Jokowi, Bobby Nasution, juga menjadi sasaran tuduhan tanpa bukti yang jelas. Narasi-narasi ini dipaksakan dan terus diproduksi, meski pada dasarnya tidak ada fakta yang mendukungnya.

Karakteristik Propaganda: Mengandalkan Gosip dan Fitnah

Salah satu kekuatan propaganda ini adalah pemahaman mendalam mengenai karakter sosial masyarakat Indonesia. Sebagai bangsa yang dikenal suka "ngegosip" dan "ngerumpi," berita-berita bohong dan tuduhan palsu sangat cepat menyebar. Propagandis ini mampu merekrut banyak agen penyebar narasi negatif secara gratis, baik melalui media sosial maupun secara langsung. Bahkan, mereka berhasil merekrut profesor, intelektual, dan tokoh oposisi yang memiliki pandangan kritis terhadap Jokowi, dengan memanfaatkan narasi yang mereka ciptakan. 

Untuk saat ini bahkan media mainstream pun ikut menyuarakan narasi dari agen propaganda ini. Lihat saja seringkali serangan ini dimulai oleh satu akun saja, dan seringkali akun bodong atau palsu. Namun netizen dan media mainstream langsung mengutip narasi itu dengan tanpa terlebih dahulu mengkonfirmasi kebenaran nya, dan biasanya langsung mendapat panggung di podcast dan diskusi di program televisi nasional.

Tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa ada modal besar di balik kampanye propaganda ini. Pemodal tersebut mungkin berasal dari kelompok-kelompok yang dirugikan oleh kebijakan-kebijakan Jokowi, seperti penutupan Petral, pengambilalihan Freeport dan perusahaan minyak asing, serta program hilirisasi yang membuat mereka kehilangan keuntungan besar dari bahan mentah murah Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini jelas merugikan pihak-pihak yang selama ini meraup untung besar dari sumber daya Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun