Indonesia, negeri yang kerap disebut sebagai "tanah surga," dengan kekayaan alamnya yang luar biasa, seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Namun, kenyataan berkata lain. Kemandirian pangan---sebuah cita-cita yang telah lama digaungkan---justru semakin menjauh. Alih-alih swasembada, impor pangan terus meningkat dari tahun ke tahun. Lalu, mengapa hal ini terjadi? Apa saja masalah yang dihadapi dalam mewujudkan kemandirian pangan?
Kemandirian Pangan di Tengah Ketergantungan Impor
Pada 2023, data menunjukkan bahwa impor pangan Indonesia masih sangat signifikan. Impor beras mencapai lebih dari 2 juta ton, sementara impor jagung, gula, kedelai, dan daging juga tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Misalnya, impor gula Indonesia pada 2022 mencapai lebih dari 5 juta ton, menjadikannya salah satu negara pengimpor gula terbesar di dunia. Demikian pula, impor kedelai yang mencapai lebih dari 2,5 juta ton di tahun yang sama. Di sisi lain, ekspor pangan Indonesia lebih didominasi oleh komoditas seperti minyak sawit dan kopi, namun ini tidak cukup untuk menutup defisit pangan nasional.
Ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia kaya akan sumber daya alam, ketergantungan pada pangan impor masih tinggi. Mengapa demikian? Masalah ini dapat ditelusuri dari berbagai aspek, baik sejarah, kebijakan, hingga tantangan struktural yang dihadapi.
Kebijakan Penyeragaman Makanan Pokok: Warisan Orde Baru
Salah satu akar masalah kemandirian pangan Indonesia adalah kebijakan yang diberlakukan sejak era Orde Baru, yakni penyeragaman makanan pokok. Pemerintah saat itu mengampanyekan nasi sebagai makanan pokok nasional. Walaupun Indonesia merupakan negara dengan keragaman hayati yang tinggi, di mana setiap wilayah memiliki pangan lokalnya sendiri, kebijakan ini mengarahkan seluruh populasi untuk menjadikan beras sebagai satu-satunya makanan pokok yang dianggap "layak."
Padahal, Papua sejak dulu sudah mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok, masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Maluku menikmati jagung, sedangkan masyarakat pedalaman banyak yang mengandalkan ubi atau tiwul dari singkong. Dengan adanya kampanye "wajib makan nasi," masyarakat yang mengonsumsi makanan lokal dianggap tertinggal atau miskin. Akibatnya, permintaan beras melonjak drastis, dan ketika produksi dalam negeri tidak mencukupi, solusi cepat yang dipilih adalah impor.
Kebijakan ini meninggalkan dampak panjang hingga sekarang. Ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok telah menjebak Indonesia dalam siklus impor. Ironisnya, di tengah kekayaan pangan lokal, negara ini tidak bisa lepas dari beras, yang dalam beberapa dekade terakhir terus diimpor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Usaha Diversifikasi Pangan dan Tantangannya
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia berusaha untuk kembali mendorong diversifikasi pangan melalui program-program seperti Lumbung Pangan dan pengembangan lahan pangan di luar Pulau Jawa. Beberapa wilayah yang sebelumnya bukan produsen utama beras, seperti Kalimantan dan Papua, kini difokuskan untuk menjadi lumbung pangan baru. Selain itu, pembangunan waduk dan infrastruktur irigasi besar-besaran juga menjadi bagian dari strategi untuk meningkatkan produktivitas pangan nasional.
Namun, tantangan besar masih mengadang di depan. Salah satu tantangan utama adalah perubahan iklim, yang secara drastis mempengaruhi pola curah hujan dan menyebabkan banjir atau kekeringan di berbagai wilayah. Hal ini sangat mempengaruhi produksi pangan, terutama beras, yang sangat bergantung pada pola cuaca yang stabil. Sebagai contoh, pada 2020, kekeringan di Pulau Jawa menyebabkan penurunan produksi beras hingga lebih dari 10%.