Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PDIP Merapat ke Prabowo: Jokowi Berang?

22 September 2024   08:15 Diperbarui: 22 September 2024   20:52 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Antara Jateng

Belakangan ini, isu yang beredar terkait merapatnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ke kubu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024 menimbulkan berbagai spekulasi. 

Walaupun pertemuan resmi antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo belum terlaksana, wacana koalisi ini menarik perhatian berbagai pihak. Beberapa pengamat politik bahkan berpendapat bahwa jika PDI-P benar-benar merapat ke Prabowo-Gibran, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan merasa kecewa, bahkan berang. Namun, benarkah demikian? Apa sebenarnya yang bisa kita simpulkan dari isu ini?

Jokowi: Jawaban Tegas dan Konstitusional

Ketika wartawan bertanya kepada Jokowi mengenai kemungkinan PDI-P bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran, Jokowi memberikan jawaban yang tegas: "Tanya ke Prabowo, karena itu hak prerogatif presiden." Jawaban Jokowi ini sangat jelas dan konstitusional. 

Sebagai presiden yang menjunjung tinggi demokrasi, Jokowi mengakui bahwa penentuan koalisi merupakan hak prerogatif presiden terpilih, bukan hal yang harus ia campuri. 

Lebih dari itu, ia juga menegaskan bahwa dinamika politik yang terjadi saat ini berada di luar kepentingan pribadinya, terutama menjelang akhir masa jabatannya sebagai presiden.

Jawaban Jokowi ini justru menunjukkan kedewasaan politik dan pemahaman yang mendalam tentang sistem konstitusional Indonesia. Bagi Jokowi, siapa pun yang terpilih dalam Pilpres 2024 berhak membentuk koalisi politik sesuai dengan kebutuhan pemerintahan mereka. Ini adalah sikap yang sangat rasional dan logis, apalagi mengingat Jokowi tidak lagi memiliki ambisi politik setelah masa jabatannya berakhir.

Pengamat Keliru: Memecah Hubungan Jokowi-Prabowo?

Meskipun demikian, beberapa pengamat tampaknya mengabaikan respons Jokowi yang lugas dan konstitusional ini. Mereka lebih fokus pada spekulasi bahwa Jokowi akan marah jika PDI-P bergabung dengan Prabowo-Gibran. Pendekatan seperti ini sebenarnya lebih mencerminkan upaya memecah hubungan antara Jokowi dan Prabowo, dua figur yang selama ini memiliki dinamika politik yang cukup harmonis. Kedekatan mereka terlihat dalam berbagai momen, mulai dari pertemuan-pertemuan strategis hingga sikap saling menghormati dalam kompetisi politik.


Hubungan baik antara Jokowi dan Prabowo sudah dibangun sejak 2019, ketika Prabowo memutuskan untuk bergabung dengan kabinet Jokowi. Mengandaikan bahwa Jokowi akan berang jika PDI-P mendukung Prabowo-Gibran adalah pandangan yang cenderung tidak berdasar. Justru, Jokowi telah membuktikan bahwa ia mampu beradaptasi dengan dinamika politik, tidak mudah terpengaruh oleh manuver partai atau koalisi yang berbeda pandangan.

Mengapa Jokowi Tidak Akan Berang?

Terdapat beberapa alasan mengapa Jokowi tidak akan berang jika PDI-P memutuskan merapat ke Prabowo-Gibran:

1. Tidak Ada Kepentingan Politik Pribadi: Jokowi tidak memiliki ambisi politik yang perlu dipertahankan setelah masa jabatannya berakhir. Sebagai presiden yang akan segera pensiun, fokus utama Jokowi adalah memastikan transisi kekuasaan berjalan dengan baik, tanpa mencampuri atau mengintervensi pilihan politik partainya.

2. Hubungan Baik dengan Prabowo: Hubungan Jokowi dengan Prabowo selama ini terbilang positif, terutama setelah Prabowo bergabung dalam kabinetnya. Kedua tokoh ini telah menunjukkan sikap profesional dalam politik, di mana kompetisi tidak berarti permusuhan. Jika PDI-P bergabung dengan Prabowo, hal ini tidak akan merusak hubungan baik antara kedua tokoh tersebut.

3. Kepentingan PDI-P: PDI-P sebagai partai besar memiliki pertimbangan strategisnya sendiri. Jika partai memutuskan untuk mendukung Prabowo-Gibran, itu merupakan hasil dari kalkulasi politik yang matang. Jokowi tentu akan menghormati keputusan partai, terlebih karena ia sendiri adalah kader PDI-P yang menghargai otonomi partai.

PDI-P: Lebih Baik Sebagai Oposisi?

Namun, di tengah semua kemungkinan ini, pertanyaan yang lebih relevan adalah: apakah PDI-P lebih baik merapat ke pemerintahan Prabowo-Gibran atau menjadi oposisi? Sebagai partai dengan sejarah panjang dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, PDI-P memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan politik. Jika PDI-P bergabung dengan Prabowo-Gibran, koalisi pendukung pemerintahan akan semakin kuat, mengingat basis dukungan Prabowo-Gibran sudah cukup besar.

Namun, di sisi lain, jika PDI-P memilih menjadi oposisi, mereka dapat memainkan peran yang tak kalah penting. Sebuah oposisi yang objektif dan konstruktif sangat dibutuhkan dalam pemerintahan demokratis. Kritik yang didasarkan pada kebijakan, bukan serangan personal atau tanpa alasan yang jelas, akan membantu menjaga jalannya pemerintahan tetap pada koridor yang benar. Oposisi yang kuat juga dapat memperkaya dinamika demokrasi dengan memberikan alternatif pandangan dan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat.

Selain itu, menjadi oposisi bukan berarti harus selalu berseberangan dengan pemerintah. PDI-P dapat menjadi oposisi yang kritis, namun tetap mendukung kebijakan yang dirasa baik untuk kepentingan nasional. Hal ini dapat memberikan ruang yang lebih luas bagi PDI-P untuk tetap memperjuangkan visi dan misinya tanpa harus terikat dalam pemerintahan koalisi.

Bagaimana Sebaiknya Posisi PDI-P?

Dengan melihat peta politik saat ini, pilihan PDI-P untuk bergabung atau tetap menjadi oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran harus didasarkan pada strategi jangka panjang. 

Jika PDI-P ingin tetap menjadi kekuatan politik utama di Indonesia, mempertimbangkan posisi oposisi yang konstruktif bisa menjadi pilihan yang lebih bijak. Dengan menjadi oposisi, PDI-P tidak hanya berfungsi sebagai pengawas pemerintahan, tetapi juga dapat menjaga independensi dan integritas politiknya.

Pada akhirnya, apapun pilihan PDI-P, baik merapat ke Prabowo-Gibran maupun tetap sebagai oposisi, yang terpenting adalah bagaimana partai tersebut berperan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memiliki pemerintah dan oposisi yang sama-sama kuat dan berperan aktif dalam pembangunan negara. Seperti yang ditunjukkan oleh Jokowi, politik adalah tentang kepentingan bersama, bukan tentang ambisi individu atau partai. Dan dalam semangat ini, kita berharap bahwa PDI-P akan terus memainkan peran yang signifikan dalam politik Indonesia, apapun posisinya nanti.**"MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun