Susi Air, Kapten Philip Mark Hehrtens, akhirnya dibebaskan setelah disandera selama 1,5 tahun oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Penjemputan dilakukan oleh tim gabungan TNI-Polri yang tergabung dalam Satgas Damai Cartenz 2024 di Kampung Yuguru, Distrik Maibarok, Kabupaten Nduga, Papua. Warga negara Selandia Baru ini kemudian diterbangkan ke Mako Brimob Batalyon B di Timika, dengan kondisi fisik yang dilaporkan baik oleh pihak berwenang.
Pada hari yang penuh haru, pilotPerjalanan panjang pembebasan Kapten Philip bukanlah perkara mudah. Selama 18 bulan, ia berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian, di tangan kelompok bersenjata yang selama ini menyebarkan teror di wilayah Papua. "Hari ini kami berhasil menjemput pilot Philip dalam keadaan sehat. Pilot kami terbangkan dari Nduga langsung menuju Timika," ungkap Kombes Bayu Suseno, Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz 2024, seperti yang dikutip dari detikNews pada Sabtu, 21 September 2024.
Meski proses pembebasan ini adalah kabar baik, periode panjang penyanderaan ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Mengapa pembebasan seorang sandera, apalagi warga asing, bisa berlangsung begitu lama? Bagaimana strategi pemerintah Indonesia melalui TNI dan Polri dalam menghadapi kelompok yang semakin berani menunjukkan eksistensinya?
1,5 Tahun Penyanderaan: Penantian Panjang dan Penuh Ketidakpastian
Kapten Philip, yang sedang menjalankan tugasnya sebagai pilot Susi Air, menjadi salah satu korban KKB pada Februari 2023. Ia disandera setelah pesawat yang dipilotinya dibakar di sebuah lapangan terbang di Nduga. Sejak saat itu, situasinya menjadi bahan perhatian internasional. Namun, berbagai upaya pembebasan yang dilakukan tak kunjung membuahkan hasil.
Kabar pembebasan ini tentu menjadi kabar gembira tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi pemerintah Indonesia dan komunitas internasional. Namun, penantian selama 1,5 tahun ini menimbulkan pertanyaan, terutama terkait efektivitas operasi pembebasan dan kendala yang dihadapi.
Mengapa Begitu Sulit Membebaskan Sandera?
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa Papua adalah wilayah yang sangat kompleks. Wilayahnya yang luas dan medan yang sulit dijangkau menjadi salah satu alasan utama mengapa operasi militer di Papua sering menemui hambatan. Selain itu, KKB di Papua sering beroperasi dengan menggunakan taktik gerilya, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di tengah hutan rimba yang sulit diakses.
Meski TNI dan Polri sudah mengerahkan pasukan khusus, kenyataannya operasi militer menghadapi tantangan besar untuk bisa menembus wilayah-wilayah di mana KKB bersembunyi. Selain tantangan geografis, faktor politik juga mempengaruhi penanganan kasus ini. Banyak yang menduga bahwa ada upaya negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pihak KKB, meski tidak diumumkan secara terbuka.
Kasus penyanderaan Kapten Philip menjadi gambaran jelas betapa rumitnya situasi di Papua. Pemerintah menghadapi dilema antara mengambil tindakan militer yang tegas atau menggunakan pendekatan negosiasi yang lebih diplomatis. Dalam konteks ini, pemerintah nampaknya lebih memilih berhati-hati, mengingat tekanan internasional yang besar, terutama dari negara asal sandera, Selandia Baru.
Korban Sipil dan Berlarutnya Konflik Papua