Indonesia akhirnya mulai serius mengimplementasikan hilirisasi industri. Pertanyaannya adalah, mengapa butuh waktu begitu lama untuk sampai pada titik ini? Apakah hilirisasi benar-benar serumit itu, atau ada faktor lain yang menghalangi terlaksananya kebijakan ini sebelumnya? Jika hilirisasi merupakan konsep sederhana, mengapa presiden-presiden terdahulu tidak berani melangkah sejauh ini?Â
Setelah lebih dari 70 tahun merdeka,Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, agenda hilirisasi kini menjadi salah satu tonggak utama dalam perekonomian Indonesia, dengan harapan membalikkan kutukan yang sering dialami oleh negara-negara kaya sumber daya alam.
Kutukan Sumber Daya Alam: Kaya SDA, Miskin Kemakmuran
Negara-negara yang memiliki sumber daya alam melimpah sering kali justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Fenomena ini dikenal sebagai resource curse atau kutukan sumber daya alam. Meskipun diberkahi dengan tambang emas, minyak bumi, gas alam, atau bijih nikel, banyak negara dengan SDA besar tidak mampu mencapai tingkat kesejahteraan yang sebanding dengan kekayaan alamnya. Alasannya sederhana: mereka hanya menjual bahan mentah.
Ketika negara hanya mengekspor bahan mentah, nilai tambah dari komoditas tersebut sangatlah rendah. Misalnya, negara-negara industri seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman yang tidak memiliki sumber daya alam sebanyak Indonesia, mampu mengolah bahan mentah yang mereka impor menjadi barang jadi yang dijual kembali dengan harga yang berkali-kali lipat. Mereka menikmati hasil hilirisasi yang seharusnya bisa dinikmati negara asal bahan mentah.
Mengapa Baru Sekarang?
Hilirisasi sebenarnya bukanlah konsep baru dalam ekonomi. Di berbagai negara maju, industri hilir menjadi mesin utama perekonomian, mengubah bahan mentah menjadi produk bernilai tinggi. Namun, di Indonesia, kebijakan hilirisasi kerap kali terbentur berbagai tantangan, mulai dari minimnya infrastruktur, ketergantungan pada investor asing, hingga masalah regulasi yang belum mendukung secara optimal.
Presiden-presiden sebelum Jokowi, meski memahami pentingnya hilirisasi, tampaknya belum siap menghadapi tantangan besar ini. Kebijakan mereka lebih banyak difokuskan pada menjaga stabilitas ekonomi jangka pendek dengan memanfaatkan hasil ekspor SDA mentah untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Belum ada upaya serius untuk membangun industri yang mampu mengolah SDA dalam negeri menjadi produk jadi.
Namun, Presiden Joko Widodo mengambil langkah berbeda. Ia memahami bahwa tanpa hilirisasi, Indonesia akan terus menjadi negara yang kaya SDA tetapi miskin kemakmuran. Jokowi menyadari, jika Indonesia tidak berani memulai hilirisasi sekarang, negara ini akan terus terjebak dalam ketergantungan pada negara-negara maju yang menikmati hasil dari bahan mentah kita.
Contoh Sumber Daya Alam yang Bernilai Berlipat Ganda
1. Nikel: Sebelum diolah, harga bijih nikel per ton hanya sekitar $40-$50. Namun setelah diolah menjadi stainless steel atau komponen baterai untuk kendaraan listrik, nilainya bisa melonjak hingga $20,000 per ton. Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar nikel di dunia kini sedang menggenjot hilirisasi untuk mendukung industri kendaraan listrik global.