nepotisme bukanlah suatu cacat moral dalam dunia politik, tapi justru sebuah branding yang diusulkan. Ya, tak perlu kaget. Dalam realita politik kita, ada usulan yang nyeleneh: Nepotisme Jokowi. Mungkin, kalau dijadikan merek dagang, produk ini bisa laris di pasaran. Bagaimana tidak? Bagi banyak orang, sepertinya mudah saja menyimpulkan: anak dan menantu Jokowi ikut politik, berarti ini murni nepotisme!
Bayangkan dunia di manaNamun, sebelum kita masuk lebih jauh, mari kita tanya diri sendiri. Benarkah kesalahan Jokowi ini sangat besar sehingga kita tiba-tiba melupakan segala jasanya? Apakah benar beliau, di balik layar, memutar-mutar roda skenario agar seluruh keluarga tercinta mendapat posisi strategis di negeri ini? Atau, jangan-jangan, ini semua hanya kebencian politik yang terlalu dibesar-besarkan? Siapa tahu, teori konspirasi ini malah lebih konyol daripada skenario sinetron yang sering ditayangkan di televisi.
Teori Konspirasi Nepotisme: Fantasi atau Realita?
Kalau kita baca komentar di media sosial atau diskusi-diskusi warung kopi, setiap kali nama Jokowi disebut, sepertinya langsung ada yang meneriakkan, "Nepotisme! Nepotisme!" Rasanya, kata ini begitu populer, bahkan lebih viral daripada TikTok challenge terbaru. Mungkin ini adalah bagian dari "proyek branding" yang belum pernah dicanangkan secara resmi. Saking seringnya diulang-ulang, orang-orang mulai yakin: "Ini pasti nepotisme Jokowi."
Namun, jika kita melihat lebih jernih, adakah bukti konkret bahwa Jokowi benar-benar merancang jalan politik anak dan menantunya? Sejauh ini, keduanya mengikuti prosedur demokrasi seperti calon-calon lainnya. Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, bertarung dalam Pilkada Solo, dan Bobby Nasution, menantunya, di Medan. Keduanya menang di medan demokrasi, bukan dengan sihir presiden yang tiba-tiba menjadikan mereka wali kota tanpa pemilu. Lantas, di mana unsur "rancangan besar" Jokowi ini?
Tetapi tidak, teori konspirasi tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kata-kata "pasti ada udang di balik batu" terus digaungkan. Ya, karena di Indonesia, yang namanya teori konspirasi lebih seru daripada kenyataan. Kalau hanya berdasarkan proses demokrasi yang jujur, mana serunya?
Branding Nepotisme: Solusi atau Citra Buruk?
Bayangkan, jika nepotisme ini benar-benar dijadikan branding, mungkin kita bisa mulai membuat iklan: "Jokowi---Keluarga adalah Kunci Sukses!" Lalu, gambar Gibran dan Bobby tersenyum sambil melambai di layar televisi. Tentu saja, kita bisa menambahkan jingle catchy agar melekat di kepala masyarakat.
Namun, mari kita jujur. Apakah kita benar-benar sedang membicarakan nepotisme, atau hanya sebatas kebetulan keluarga Jokowi juga tertarik dengan politik? Anak seorang dokter tidak heran kalau jadi dokter, kan? Anak seorang pengusaha, biasanya juga tertarik jadi pengusaha. Lalu, kenapa tiba-tiba kita merasa anak presiden yang masuk politik adalah dosa besar?
Lebih ironis lagi, mereka yang paling gencar menuduh Jokowi nepotisme, apakah mereka sendiri benar-benar bersih dari praktik ini? Atau, jangan-jangan, mereka hanya iri karena belum bisa melibatkan keluarganya sendiri dalam peta kekuasaan? Ada pepatah lama yang berkata, "Gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan tampak." Mungkin, yang menuduh Jokowi nepotisme adalah mereka yang lebih nepotisme daripada nepotisme itu sendiri.
Kita Lupa Semua Jasanya?
Tak sedikit yang tiba-tiba lupa pada apa yang telah dilakukan Jokowi selama dua periode ini. Seolah-olah, isu nepotisme ini langsung menyapu bersih semua prestasi. Ya, segala jalan tol yang dibangun, reformasi birokrasi, dan berbagai program infrastruktur seakan tak ada artinya lagi. "Ah, itu kan sudah kewajiban presiden," kata mereka sambil mempersiapkan teori konspirasi berikutnya.
Bagi mereka, nepotisme adalah dosa yang tak termaafkan. Namun, sebaliknya, ketika yang melakukannya adalah pemimpin politik favorit mereka, nepotisme itu mendadak bisa dimaklumi. Aneh bukan? Setiap kali keluarga Jokowi sukses dalam politik, langsung dicap sebagai nepotisme, tapi kalau keluarga politisi lain yang berkuasa, tiba-tiba itu disebut "kebetulan" atau "kebanggaan keluarga."
Lucunya, yang menuduh Jokowi ini sering kali punya sejarah panjang dalam memanfaatkan nama besar keluarga mereka sendiri. Jadi, kalau kita mau jujur, mungkin sebenarnya mereka cuma cemburu. Mereka tidak mau ketinggalan momen untuk berteriak "nepotisme!" hanya karena mereka tidak punya kesempatan yang sama.
Politisi dan Nepotisme: Standar Ganda?
Sebenarnya, jika kita mau membandingkan, sejarah politik di Indonesia penuh dengan keluarga-keluarga yang saling mendukung. Ada yang bilang, "Politik itu soal warisan," dan itu benar adanya. Lihat saja keluarga-keluarga besar di dunia politik, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Nepotisme, kalau memang itu namanya, sudah ada sejak dulu, tapi entah mengapa, baru kali ini kata itu dijadikan senjata utama.
Namun, mari kita ingatkan satu hal: demokrasi tetap jalan. Setiap kandidat, termasuk anak dan menantu Jokowi, tetap harus melalui pemilu. Tidak ada jalur khusus yang disediakan presiden untuk keluarganya. Jadi, apakah benar Jokowi merancang ini semua? Atau, apakah ini hanya kebetulan sejarah keluarga yang tertarik untuk berpolitik?
Akhir Kata: Mari Kita Tetap Jernih
Jadi, apakah nepotisme Jokowi memang sebesar yang dibilang? Ataukah ini semua hanyalah narasi yang dibumbui oleh mereka yang punya agenda sendiri? Sebelum kita terburu-buru menuduh, mungkin kita harus bercermin dulu. Jangan-jangan, kita hanya terperangkap dalam teori konspirasi dan kebencian politik yang tidak masuk akal.
Jika benar nepotisme adalah branding baru Jokowi, maka mungkin kita sedang menyaksikan babak baru dalam sejarah branding politik Indonesia. Tapi, jika ini hanya kebetulan belaka, mungkin kita sebaiknya berhenti menuding tanpa bukti. Toh, nepotisme atau tidak, pada akhirnya demokrasi yang menentukan, bukan?
Dan jangan lupa, di balik segala tuduhan ini, ada banyak hal yang sudah dilakukan Jokowi yang tetap patut diingat. Jangan sampai satu isu membuat kita lupa pada seluruh kebaikan yang telah dibawa. Sebab, seperti kata pepatah, kebaikan tidak selamanya dihargai, kecuali setelah hilang.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H