Subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia seolah menjadi benang kusut yang sulit diurai, selalu menjadi persoalan besar bagi siapa pun yang duduk di kursi presiden. Berbagai pemerintahan, dari masa ke masa, telah mencoba menghadapi tantangan ini, namun persoalan subsidi BBM selalu kembali menghantui. Mengapa kebijakan ini begitu sulit diputuskan dengan tegas? Apa yang membuatnya selalu maju mundur?
Sejarah Panjang Subsidi BBM
Subsidi BBM di Indonesia dimulai sejak era Soeharto, di mana kebijakan ini diambil untuk menjaga stabilitas harga energi agar tetap terjangkau oleh masyarakat luas. Ini merupakan langkah populis yang membantu mempertahankan harga-harga barang dan jasa agar tidak melambung.Â
Namun, seiring berjalannya waktu, beban subsidi ini semakin berat, apalagi ketika harga minyak dunia mengalami lonjakan. Sering kali, subsidi BBM menghabiskan porsi besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk sektor lain seperti kesehatan dan pendidikan justru tersedot untuk membiayai subsidi ini.
Di era pemerintahan Presiden Jokowi, langkah signifikan diambil untuk mengurangi beban subsidi BBM. Jokowi berhasil menghapus subsidi premium dan solar secara bertahap, serta memperkenalkan kebijakan BBM satu harga di Papua dan wilayah terpencil lainnya, di mana sebelumnya harga BBM bisa mencapai lima hingga enam kali lipat harga di Pulau Jawa. Meski demikian, hingga kini subsidi BBM tetap menjadi salah satu pengeluaran terbesar negara.
Mengapa Subsidi BBM Selalu Menjadi Beban?
Ada beberapa alasan mengapa subsidi BBM selalu menjadi beban bagi pemerintah. Pertama, beban keuangan yang sangat besar. Setiap tahun, subsidi BBM memakan porsi yang signifikan dari APBN. Pada 2022, misalnya, subsidi energi (termasuk BBM) diperkirakan mencapai lebih dari Rp500 triliun. Angka ini sangat besar dan menekan ruang fiskal pemerintah untuk membiayai sektor-sektor lain yang sama pentingnya, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Kedua, subsidi BBM yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat kurang mampu, justru banyak dinikmati oleh golongan yang mampu. BBM subsidi sering kali digunakan oleh pemilik mobil mewah dan kendaraan bermotor yang bukan merupakan sasaran dari kebijakan subsidi tersebut. Hal ini membuat subsidi tidak efektif dalam mencapai tujuannya untuk membantu masyarakat miskin.
Ketiga, meski pemerintah berkali-kali mencoba untuk mengendalikan penggunaan BBM subsidi, kebijakan tersebut sulit untuk diterapkan secara efektif. Berbagai upaya telah dilakukan, seperti pembatasan BBM per hari, pembatasan jenis kendaraan yang bisa membeli BBM subsidi, hingga penerapan sistem pengawasan digital. Namun, tetap saja kebijakan ini tidak berhasil menekan penyalahgunaan subsidi BBM secara signifikan.
Kebijakan Setengah-setengah: Mengapa Pemerintah Ragu?
Kebijakan subsidi BBM sering kali berada di antara keputusan politik dan keberanian untuk menghadapi protes masyarakat. Setiap kali pemerintah mencoba mengurangi atau bahkan menghapus subsidi BBM, protes masyarakat kerap kali menjadi penghalang. Kita masih ingat pada tahun 2013 ketika pemerintah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM, terjadi aksi protes besar-besaran di berbagai daerah. Protes yang sama juga muncul ketika Jokowi menaikkan harga BBM di awal masa pemerintahannya pada 2014.
Subsidi BBM dianggap sebagai hak yang tidak boleh diambil dari masyarakat. Ketika harga BBM naik, masyarakat langsung merasakan dampaknya pada kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya. Hal ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang sangat tergantung pada harga BBM yang murah untuk keberlangsungan hidup sehari-hari.
Inilah yang membuat pemerintah sering kali mengambil kebijakan setengah-setengah. Di satu sisi, ada keinginan untuk mengurangi beban subsidi yang terlalu besar pada APBN, namun di sisi lain, ada kekhawatiran akan gelombang protes yang muncul jika harga BBM dinaikkan terlalu drastis. Akhirnya, kebijakan subsidi BBM selalu berubah-ubah, maju mundur tanpa arah yang jelas.
Apakah Pembatasan BBM Subsidi Bisa Berhasil Kali Ini?
Belakangan ini, kembali muncul wacana untuk membatasi penggunaan BBM subsidi, baik dengan cara membatasi jenis kendaraan yang boleh menggunakan BBM subsidi, maupun pembatasan volume pembelian per hari. Wacana ini muncul karena kesadaran bahwa subsidi yang ada selama ini tidak tepat sasaran. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah kali ini kebijakan ini bisa berhasil?
Keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung pada konsistensi pemerintah dan kemampuan untuk mengawasi secara ketat penggunaan BBM subsidi. Jika pemerintah bisa menerapkan pembatasan dengan sistem pengawasan yang transparan dan adil, ada kemungkinan kebijakan ini bisa berjalan lebih efektif. Namun, ini membutuhkan komitmen jangka panjang dan kemampuan untuk menghadapi tantangan teknis serta protes yang mungkin muncul.
Mengapa Tidak Menghapus Subsidi BBM Sekaligus?
Banyak yang berpendapat bahwa subsidi BBM seharusnya dihapuskan saja, karena dana yang dihabiskan untuk subsidi BBM bisa dialihkan untuk sektor-sektor yang lebih prioritas, seperti pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur. Dengan penghapusan subsidi BBM, pemerintah bisa memperbaiki keseimbangan fiskal dan menciptakan alokasi anggaran yang lebih produktif.
Namun, menghapus subsidi BBM bukanlah perkara mudah. Selain potensi protes besar dari masyarakat, penghapusan subsidi BBM akan mempengaruhi daya beli masyarakat secara signifikan. BBM adalah kebutuhan dasar yang mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Jika harga BBM melonjak, harga-harga barang dan jasa lainnya juga ikut naik. Inilah yang menjadi kekhawatiran utama pemerintah.
Jika pemerintah benar-benar ingin menghapus subsidi BBM, kompensasi harus disiapkan untuk mengantisipasi dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Kompensasi ini bisa berupa bantuan langsung tunai bagi kelompok masyarakat miskin, subsidi untuk sektor transportasi publik, atau insentif lain yang bisa meringankan beban masyarakat. Tanpa adanya kompensasi yang memadai, penghapusan subsidi BBM hanya akan menimbulkan gejolak di masyarakat.
Solusi: Konsistensi dan Pengawasan Ketat
Apapun kebijakan yang diambil, kuncinya adalah konsistensi dan pengawasan yang ketat. Jika pemerintah memutuskan untuk tetap memberikan subsidi BBM, maka pembatasan harus dilakukan dengan pengawasan yang ketat agar subsidi tepat sasaran. Pemerintah harus berani bertindak tegas terhadap penyalahgunaan subsidi, tanpa pandang bulu.
Namun, jika pemerintah memilih untuk menghapus subsidi, perlu ada upaya maksimal dalam mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada masyarakat, serta memberikan kompensasi yang memadai agar dampak kenaikan harga BBM bisa diredam.
Kebijakan subsidi BBM tidak akan pernah menjadi langkah yang mudah, tetapi dengan keberanian dan konsistensi, kebijakan ini bisa dijalankan lebih efektif dan adil. Apa pun pilihannya, pemerintah harus siap menghadapi tantangan dan melakukan perubahan yang diperlukan untuk membawa negara ini ke arah yang lebih baik, tanpa terus-terusan terjebak dalam masalah subsidi BBM yang tak berkesudahan.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H