Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pedagang Kaki Lima: Aktor Kemajuan Ekonomi Kota atau Kambing Hitam Kesemrawutan?

11 September 2024   12:29 Diperbarui: 11 September 2024   13:00 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pedagang Kaki Lima (PKL) kerap menjadi sorotan negatif dalam pengelolaan tata kota. Mereka sering dianggap biang kerok kesemrawutan dan kemacetan kota, sehingga tidak jarang menjadi sasaran penggusuran oleh pemerintah daerah dengan tangan Satpol PP. 

Padahal, PKL bukan sekadar "penyebab kekacauan" melainkan aktor penting dalam roda perekonomian kota. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang masih giat berusaha dengan modal sendiri dan menawarkan solusi bagi mereka yang kehilangan pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dengan peran vital PKL dalam ekonomi perkotaan, artikel ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana pemerintah dapat lebih mengayomi mereka serta menciptakan tata kota yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

PKL sebagai Solusi Ekonomi: Pengganti Lapangan Kerja yang Hilang

Di tengah tantangan ekonomi yang semakin berat, banyak individu yang tidak memiliki akses ke pekerjaan formal beralih menjadi PKL. Para pedagang ini sering kali menggunakan modal pribadi, menyiapkan gerobak atau lapak sederhana, dan menjalankan usaha di tempat-tempat strategis seperti alun-alun, taman kota, atau pinggiran jalan.

Bagi masyarakat yang terkena PHK, PKL menjadi benteng terakhir yang membantu mereka bertahan hidup. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor informal, termasuk PKL, menyerap sekitar 57,27% dari total tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2021. PKL bukan hanya sumber penghidupan bagi mereka sendiri, tetapi juga memberikan kontribusi dalam menciptakan dinamika ekonomi di wilayah perkotaan.

Kontribusi PKL dalam Pendapatan Daerah: Sumbangan Nyata bagi APBD

Walaupun sering dipandang sebelah mata, PKL sebenarnya memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi dan pajak yang mereka bayarkan. Sebagai contoh, di Jakarta pada tahun 2022, PKL berkontribusi sebesar Rp. 100 miliar dari retribusi lapak dan usaha kecil. Angka ini membuktikan bahwa keberadaan PKL mampu menyokong anggaran pemerintah daerah, bahkan di tengah berbagai tantangan ekonomi.

Namun, kontribusi ini seringkali tidak diimbangi dengan perhatian dan perlindungan yang layak dari pemerintah daerah. Mereka tetap dianggap sebagai "pedagang liar" yang mudah diusir tanpa solusi yang jelas.

Tantangan yang Dihadapi PKL: Penggusuran, Premanisme, dan Ketidakpastian Hukum

PKL kerap menjadi korban penggusuran oleh pemerintah daerah yang berdalih menata kota agar lebih rapi dan tertib. Mereka dipandang sebagai biang keladi dari kemacetan dan kesemrawutan jalan, sehingga sering diusir tanpa diberikan solusi yang berkelanjutan. Selain penggusuran, para pedagang ini juga harus menghadapi premanisme dan pungutan liar, baik dari oknum aparat maupun preman jalanan.

Sebagian besar PKL dianggap pedagang ilegal karena tidak memiliki izin formal, meskipun banyak dari mereka beroperasi di area publik yang ramai. Status ini membuat mereka rentan terhadap tindakan represif dari pemerintah maupun preman, tanpa adanya perlindungan hukum yang jelas.

Tata Kota yang Tidak Mengakomodasi PKL: Kegagalan dalam Perencanaan Kota

Kesemrawutan yang sering dikaitkan dengan PKL sebenarnya lebih disebabkan oleh perencanaan tata kota yang tidak mengakomodasi mereka. Ketika pemerintah membangun ruang publik seperti alun-alun, taman kota, atau lapangan olahraga, jarang ada perencanaan khusus untuk menyediakan tempat bagi PKL. Padahal, di mana ada keramaian, kebutuhan akan makanan, minuman, dan barang-barang lain juga meningkat, yang otomatis mengundang PKL untuk berdagang.

Ketiadaan ruang khusus bagi PKL ini menimbulkan dua masalah. Pertama, PKL beroperasi di tempat yang tidak teratur dan rawan menciptakan kemacetan. Kedua, ketika mereka dipaksa pindah ke lokasi khusus yang disiapkan pemerintah, sering kali tempat tersebut tidak strategis dan sepi pengunjung, sehingga mengancam keberlangsungan usaha mereka.

Solusi: Mengintegrasikan PKL sebagai Bagian dari Tata Kota

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah daerah perlu mengubah pendekatan mereka dalam menangani PKL. Alih-alih melihat mereka sebagai masalah, PKL harus diakui sebagai bagian dari solusi pembangunan ekonomi perkotaan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah:

Perencanaan Tata Kota yang Inklusif: Pemerintah harus mulai memikirkan PKL dalam setiap perencanaan ruang publik. Lokasi-lokasi strategis seperti taman kota, alun-alun, dan pusat perbelanjaan luar ruang harus dirancang dengan area khusus yang memungkinkan PKL beroperasi tanpa menyebabkan kemacetan atau kesemrawutan.

Pemberian Legalitas dan Izin Usaha yang Mudah:  Pemerintah perlu menyediakan jalur yang mudah dan terjangkau bagi PKL untuk mendapatkan izin usaha. Dengan legalitas formal, mereka dapat dilindungi secara hukum dan beroperasi tanpa takut digusur secara sepihak. Di beberapa kota, telah ada program yang memberikan izin berdagang bagi PKL dengan biaya retribusi yang minim, dan ini terbukti efektif.

Pemanfaatan Teknologi untuk Pengaturan Lapak PKL : Beberapa kota di dunia telah mulai menggunakan teknologi untuk mengatur lokasi berdagang PKL. Misalnya, pemerintah dapat menyediakan aplikasi berbasis lokasi yang memungkinkan PKL mendaftar dan memesan ruang berjualan di area-area publik. Sistem ini tidak hanya membantu mengurangi kesemrawutan, tetapi juga memudahkan pemerintah dalam mengontrol keberadaan PKL.

Menyediakan Fasilitas yang Memadai: Selain ruang berdagang, pemerintah juga harus memastikan adanya fasilitas pendukung seperti tempat pembuangan sampah, parkir, dan akses air bersih untuk PKL. Dengan fasilitas yang memadai, PKL dapat menjalankan usaha mereka dengan lebih baik dan menjaga kebersihan serta kerapihan lingkungan sekitar.PKL sebagai Mitra dalam Pembangunan Ekonomi Kota

Pedagang kaki lima bukanlah biang keladi dari kesemrawutan tata kota, melainkan aktor penting dalam ekonomi perkotaan. Mereka menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ke sektor formal, serta berkontribusi nyata pada pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi. Pemerintah perlu mengubah perspektif mereka dan mulai melihat PKL sebagai mitra dalam pembangunan kota yang inklusif.

Dengan perencanaan yang tepat, PKL dapat menjadi bagian integral dari ekonomi kota yang dinamis dan berkelanjutan. Dukungan hukum, tata ruang yang lebih baik, serta fasilitas yang memadai akan memastikan bahwa PKL tidak lagi menjadi kambing hitam, tetapi pilar utama dalam pembangunan ekonomi perkotaan yang inklusif dan berkeadilan.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun