Pedagang Kaki Lima (PKL) kerap menjadi sorotan negatif dalam pengelolaan tata kota. Mereka sering dianggap biang kerok kesemrawutan dan kemacetan kota, sehingga tidak jarang menjadi sasaran penggusuran oleh pemerintah daerah dengan tangan Satpol PP.Â
Padahal, PKL bukan sekadar "penyebab kekacauan" melainkan aktor penting dalam roda perekonomian kota. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang masih giat berusaha dengan modal sendiri dan menawarkan solusi bagi mereka yang kehilangan pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dengan peran vital PKL dalam ekonomi perkotaan, artikel ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana pemerintah dapat lebih mengayomi mereka serta menciptakan tata kota yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
PKL sebagai Solusi Ekonomi: Pengganti Lapangan Kerja yang Hilang
Di tengah tantangan ekonomi yang semakin berat, banyak individu yang tidak memiliki akses ke pekerjaan formal beralih menjadi PKL. Para pedagang ini sering kali menggunakan modal pribadi, menyiapkan gerobak atau lapak sederhana, dan menjalankan usaha di tempat-tempat strategis seperti alun-alun, taman kota, atau pinggiran jalan.
Bagi masyarakat yang terkena PHK, PKL menjadi benteng terakhir yang membantu mereka bertahan hidup. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor informal, termasuk PKL, menyerap sekitar 57,27% dari total tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2021. PKL bukan hanya sumber penghidupan bagi mereka sendiri, tetapi juga memberikan kontribusi dalam menciptakan dinamika ekonomi di wilayah perkotaan.
Kontribusi PKL dalam Pendapatan Daerah: Sumbangan Nyata bagi APBD
Walaupun sering dipandang sebelah mata, PKL sebenarnya memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi dan pajak yang mereka bayarkan. Sebagai contoh, di Jakarta pada tahun 2022, PKL berkontribusi sebesar Rp. 100 miliar dari retribusi lapak dan usaha kecil. Angka ini membuktikan bahwa keberadaan PKL mampu menyokong anggaran pemerintah daerah, bahkan di tengah berbagai tantangan ekonomi.
Namun, kontribusi ini seringkali tidak diimbangi dengan perhatian dan perlindungan yang layak dari pemerintah daerah. Mereka tetap dianggap sebagai "pedagang liar" yang mudah diusir tanpa solusi yang jelas.
Tantangan yang Dihadapi PKL: Penggusuran, Premanisme, dan Ketidakpastian Hukum
PKL kerap menjadi korban penggusuran oleh pemerintah daerah yang berdalih menata kota agar lebih rapi dan tertib. Mereka dipandang sebagai biang keladi dari kemacetan dan kesemrawutan jalan, sehingga sering diusir tanpa diberikan solusi yang berkelanjutan. Selain penggusuran, para pedagang ini juga harus menghadapi premanisme dan pungutan liar, baik dari oknum aparat maupun preman jalanan.