Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukuman SYL Ditambah Menjadi 12 Tahun, Putusan Menjerakan Koruptor?

11 September 2024   10:10 Diperbarui: 11 September 2024   10:10 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: CNN.com

Kasus korupsi yang melibatkan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang juga kader Partai Nasdem, terus menjadi sorotan publik. Setelah diputuskan bersalah dalam kasus korupsi dan menerima hukuman 10 tahun, SYL naik banding di Pengadilan Tinggi dengan harapan mendapatkan keringanan hukuman. Namun, alih-alih berkurang, hukuman SYL justru diperberat oleh hakim Pengadilan Tinggi menjadi 12 tahun penjara, lengkap dengan peningkatan denda yang harus dibayarnya sebesar 44 M. 

Hukuman Berat yang Tidak Biasa

Peningkatan hukuman dalam kasus banding SYL ini adalah sesuatu yang jarang terjadi di Indonesia. Umumnya, para terdakwa korupsi yang mengajukan banding atau kasasi justru mendapatkan pengurangan hukuman. Beberapa kasus besar memberikan contoh bagaimana banding atau kasasi seringkali menjadi jalan keluar bagi koruptor untuk mendapatkan keringanan hukuman.

Contohnya, pada kasus Djoko Tjandra, terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, di mana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis dua tahun penjara, namun pada tahap kasasi, Mahkamah Agung memotong hukuman menjadi 18 bulan penjara. Begitu pula dengan kasus korupsi Gayus Tambunan yang awalnya divonis 12 tahun penjara namun pada tingkat banding hukuman tersebut dipotong menjadi tujuh tahun. Fenomena ini telah menciptakan persepsi negatif di masyarakat bahwa korupsi di Indonesia sulit ditangani dengan tegas.

Namun, dalam kasus SYL, hakim Pengadilan Tinggi mengambil langkah berbeda. Tidak hanya menambah masa hukuman penjara, SYL juga diwajibkan membayar denda yang lebih besar dari putusan awal, menunjukkan ketegasan hakim dalam menindak kejahatan korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.

Apresiasi Publik Terhadap Putusan Hakim

Keputusan ini menuai pujian dari banyak pihak. Di tengah skeptisisme publik terhadap sistem peradilan, langkah hakim Pengadilan Tinggi dalam memperberat hukuman SYL dianggap sebagai angin segar. Masyarakat merasa puas dengan putusan ini, yang menunjukkan bahwa ada harapan bagi peradilan untuk memberikan efek jera kepada koruptor.

Banyak yang beranggapan bahwa putusan ini adalah langkah maju dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yang selama ini dinilai belum memberikan dampak yang signifikan dalam menekan angka korupsi. Namun, muncul pertanyaan besar: Apakah hukuman penjara yang lebih berat cukup untuk membuat para koruptor benar-benar jera?

Apakah Hukuman Penjara Cukup untuk Membuat Koruptor Jera?

Meski hukuman penjara yang lebih berat patut diapresiasi, ada keraguan apakah ini cukup untuk menghentikan niat para pejabat dan pengusaha melakukan korupsi. Faktanya, banyak mantan narapidana kasus korupsi yang setelah bebas dari penjara tetap menikmati hasil dari tindak kejahatan mereka. Dalam beberapa kasus, aset-aset yang diperoleh dari hasil korupsi tidak disita secara menyeluruh, sehingga saat mereka keluar dari penjara, kekayaan hasil korupsi masih bisa dinikmati.

Koruptor yang menjalani hukuman penjara masih sering kali dapat hidup mewah setelah keluar. Mereka berhasil menyembunyikan kekayaan atau memindahkan aset-aset hasil korupsi kepada keluarga atau rekan bisnis. Inilah mengapa, selain hukuman penjara, Indonesia sangat membutuhkan Undang-Undang Perampasan Aset, yang bertujuan untuk menyita kekayaan yang diperoleh dari tindakan korupsi, sehingga tidak ada yang bisa menikmati hasil korupsi, baik selama masa hukuman atau setelahnya.

RUU Perampasan Aset: Mengapa Belum Disahkan?

Sayangnya, meskipun pemerintah telah mengajukan RUU Perampasan Aset sejak beberapa bulan lalu, pembahasan dan pengesahannya masih tertunda. Ketua DPR, Puan Maharani, yang merupakan politisi dari PDIP, sempat menyatakan bahwa ada banyak RUU lain yang lebih mendesak dan harus segera diselesaikan. Pernyataan ini menimbulkan kekecewaan di kalangan publik yang berharap RUU ini segera disahkan sebagai langkah tegas dalam upaya pemberantasan korupsi.

Pernyataan Puan Maharani tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa tidak ada urgensi bagi DPR untuk segera mengesahkan RUU ini, meskipun kasus-kasus korupsi terus bermunculan dan merugikan negara dalam jumlah besar. Hal ini semakin memperkuat pandangan bahwa para politisi tidak memiliki keinginan untuk memperketat pemberantasan korupsi, mungkin karena banyak di antara mereka yang juga terlibat atau pernah terjerat kasus serupa.

Menurut data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2022 saja, kerugian negara akibat korupsi mencapai lebih dari Rp 39,2 triliun. Tanpa ada kebijakan yang kuat seperti RUU Perampasan Aset, kerugian ini berpotensi terus bertambah dan memberikan celah bagi para koruptor untuk tetap menikmati hasil korupsi setelah menjalani masa tahanan.

Solusi: Langkah-Langkah yang Harus Diambil

Untuk memastikan koruptor benar-benar jera dan mencegah kebocoran uang negara yang lebih besar, langkah-langkah berikut harus segera diambil:

Pengesahan RUU Perampasan Aset: Tanpa regulasi ini, hukuman penjara tidak cukup. Penyitaan seluruh aset hasil korupsi akan memberikan dampak lebih besar dan memotong akses koruptor terhadap kekayaan yang mereka kumpulkan secara ilegal.
   
Perbaikan Sistem Hukum dan Pengadilan: Meskipun beberapa hakim telah memberikan putusan tegas, sistem pengadilan harus lebih konsisten dalam menjatuhkan hukuman yang berat bagi koruptor, tanpa memberikan kesempatan banding yang justru memperingan hukuman.

Pendidikan Anti-Korupsi: Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan melalui pendidikan anti-korupsi, mulai dari sekolah hingga lingkungan kerja. Semakin tinggi tingkat kesadaran dan penolakan terhadap korupsi di masyarakat, semakin besar tekanan kepada para pejabat dan pelaku bisnis untuk bertindak jujur.

Penguatan KPK: KPK perlu terus didukung dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga independen pemberantas korupsi. Penyempitan kewenangan KPK dalam beberapa tahun terakhir harus dikembalikan dan diperkuat agar dapat bertindak lebih tegas.

Pengawasan Ketat terhadap Politikus dan Pejabat Publik: Peningkatan transparansi dalam aktivitas politik dan birokrasi sangat penting. Pembentukan lembaga pengawas independen yang memonitor kekayaan pejabat publik secara real-time akan membantu mencegah tindak pidana korupsi sebelum terjadi.

Kasus SYL dan peningkatan hukumannya menjadi 12 tahun memberikan sedikit harapan bagi perbaikan sistem peradilan dalam menindak korupsi. Namun, untuk benar-benar menghentikan korupsi dan memastikan para pelaku jera, hukuman penjara saja tidak cukup. Pengesahan RUU Perampasan Aset sangatlah mendesak. Tanpa regulasi yang tegas dalam menyita aset hasil korupsi, kita hanya akan melihat kasus serupa terus terjadi, di mana koruptor yang menjalani hukuman penjara tetap dapat menikmati kekayaan mereka setelah bebas.

Masyarakat berharap, dengan adanya regulasi yang lebih ketat dan komprehensif, para koruptor tidak lagi bisa bersembunyi di balik celah hukum, dan Indonesia bisa bergerak menuju masa depan yang lebih bersih dari korupsi.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun