RUU Perampasan Aset: Mengapa Belum Disahkan?
Sayangnya, meskipun pemerintah telah mengajukan RUU Perampasan Aset sejak beberapa bulan lalu, pembahasan dan pengesahannya masih tertunda. Ketua DPR, Puan Maharani, yang merupakan politisi dari PDIP, sempat menyatakan bahwa ada banyak RUU lain yang lebih mendesak dan harus segera diselesaikan. Pernyataan ini menimbulkan kekecewaan di kalangan publik yang berharap RUU ini segera disahkan sebagai langkah tegas dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pernyataan Puan Maharani tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa tidak ada urgensi bagi DPR untuk segera mengesahkan RUU ini, meskipun kasus-kasus korupsi terus bermunculan dan merugikan negara dalam jumlah besar. Hal ini semakin memperkuat pandangan bahwa para politisi tidak memiliki keinginan untuk memperketat pemberantasan korupsi, mungkin karena banyak di antara mereka yang juga terlibat atau pernah terjerat kasus serupa.
Menurut data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2022 saja, kerugian negara akibat korupsi mencapai lebih dari Rp 39,2 triliun. Tanpa ada kebijakan yang kuat seperti RUU Perampasan Aset, kerugian ini berpotensi terus bertambah dan memberikan celah bagi para koruptor untuk tetap menikmati hasil korupsi setelah menjalani masa tahanan.
Solusi: Langkah-Langkah yang Harus Diambil
Untuk memastikan koruptor benar-benar jera dan mencegah kebocoran uang negara yang lebih besar, langkah-langkah berikut harus segera diambil:
Pengesahan RUU Perampasan Aset: Tanpa regulasi ini, hukuman penjara tidak cukup. Penyitaan seluruh aset hasil korupsi akan memberikan dampak lebih besar dan memotong akses koruptor terhadap kekayaan yang mereka kumpulkan secara ilegal.
 Â
Perbaikan Sistem Hukum dan Pengadilan: Meskipun beberapa hakim telah memberikan putusan tegas, sistem pengadilan harus lebih konsisten dalam menjatuhkan hukuman yang berat bagi koruptor, tanpa memberikan kesempatan banding yang justru memperingan hukuman.
Pendidikan Anti-Korupsi: Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan melalui pendidikan anti-korupsi, mulai dari sekolah hingga lingkungan kerja. Semakin tinggi tingkat kesadaran dan penolakan terhadap korupsi di masyarakat, semakin besar tekanan kepada para pejabat dan pelaku bisnis untuk bertindak jujur.
Penguatan KPK: KPK perlu terus didukung dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga independen pemberantas korupsi. Penyempitan kewenangan KPK dalam beberapa tahun terakhir harus dikembalikan dan diperkuat agar dapat bertindak lebih tegas.
Pengawasan Ketat terhadap Politikus dan Pejabat Publik: Peningkatan transparansi dalam aktivitas politik dan birokrasi sangat penting. Pembentukan lembaga pengawas independen yang memonitor kekayaan pejabat publik secara real-time akan membantu mencegah tindak pidana korupsi sebelum terjadi.
Kasus SYL dan peningkatan hukumannya menjadi 12 tahun memberikan sedikit harapan bagi perbaikan sistem peradilan dalam menindak korupsi. Namun, untuk benar-benar menghentikan korupsi dan memastikan para pelaku jera, hukuman penjara saja tidak cukup. Pengesahan RUU Perampasan Aset sangatlah mendesak. Tanpa regulasi yang tegas dalam menyita aset hasil korupsi, kita hanya akan melihat kasus serupa terus terjadi, di mana koruptor yang menjalani hukuman penjara tetap dapat menikmati kekayaan mereka setelah bebas.