korupsi yang melibatkan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang juga kader Partai Nasdem, terus menjadi sorotan publik. Setelah diputuskan bersalah dalam kasus korupsi dan menerima hukuman 10 tahun, SYL naik banding di Pengadilan Tinggi dengan harapan mendapatkan keringanan hukuman. Namun, alih-alih berkurang, hukuman SYL justru diperberat oleh hakim Pengadilan Tinggi menjadi 12 tahun penjara, lengkap dengan peningkatan denda yang harus dibayarnya sebesar 44 M.Â
KasusHukuman Berat yang Tidak Biasa
Peningkatan hukuman dalam kasus banding SYL ini adalah sesuatu yang jarang terjadi di Indonesia. Umumnya, para terdakwa korupsi yang mengajukan banding atau kasasi justru mendapatkan pengurangan hukuman. Beberapa kasus besar memberikan contoh bagaimana banding atau kasasi seringkali menjadi jalan keluar bagi koruptor untuk mendapatkan keringanan hukuman.
Contohnya, pada kasus Djoko Tjandra, terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, di mana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis dua tahun penjara, namun pada tahap kasasi, Mahkamah Agung memotong hukuman menjadi 18 bulan penjara. Begitu pula dengan kasus korupsi Gayus Tambunan yang awalnya divonis 12 tahun penjara namun pada tingkat banding hukuman tersebut dipotong menjadi tujuh tahun. Fenomena ini telah menciptakan persepsi negatif di masyarakat bahwa korupsi di Indonesia sulit ditangani dengan tegas.
Namun, dalam kasus SYL, hakim Pengadilan Tinggi mengambil langkah berbeda. Tidak hanya menambah masa hukuman penjara, SYL juga diwajibkan membayar denda yang lebih besar dari putusan awal, menunjukkan ketegasan hakim dalam menindak kejahatan korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Apresiasi Publik Terhadap Putusan Hakim
Keputusan ini menuai pujian dari banyak pihak. Di tengah skeptisisme publik terhadap sistem peradilan, langkah hakim Pengadilan Tinggi dalam memperberat hukuman SYL dianggap sebagai angin segar. Masyarakat merasa puas dengan putusan ini, yang menunjukkan bahwa ada harapan bagi peradilan untuk memberikan efek jera kepada koruptor.
Banyak yang beranggapan bahwa putusan ini adalah langkah maju dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yang selama ini dinilai belum memberikan dampak yang signifikan dalam menekan angka korupsi. Namun, muncul pertanyaan besar: Apakah hukuman penjara yang lebih berat cukup untuk membuat para koruptor benar-benar jera?
Apakah Hukuman Penjara Cukup untuk Membuat Koruptor Jera?
Meski hukuman penjara yang lebih berat patut diapresiasi, ada keraguan apakah ini cukup untuk menghentikan niat para pejabat dan pengusaha melakukan korupsi. Faktanya, banyak mantan narapidana kasus korupsi yang setelah bebas dari penjara tetap menikmati hasil dari tindak kejahatan mereka. Dalam beberapa kasus, aset-aset yang diperoleh dari hasil korupsi tidak disita secara menyeluruh, sehingga saat mereka keluar dari penjara, kekayaan hasil korupsi masih bisa dinikmati.
Koruptor yang menjalani hukuman penjara masih sering kali dapat hidup mewah setelah keluar. Mereka berhasil menyembunyikan kekayaan atau memindahkan aset-aset hasil korupsi kepada keluarga atau rekan bisnis. Inilah mengapa, selain hukuman penjara, Indonesia sangat membutuhkan Undang-Undang Perampasan Aset, yang bertujuan untuk menyita kekayaan yang diperoleh dari tindakan korupsi, sehingga tidak ada yang bisa menikmati hasil korupsi, baik selama masa hukuman atau setelahnya.