Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pimpinan KPK Nurul Gufron Melawan Dewas KPK: Kasus Pelanggan Etik dan Drama yang Menghancurkan KPK

7 September 2024   08:51 Diperbarui: 7 September 2024   09:00 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus pelanggaran etik yang menjerat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Gufron, menjadi babak baru dalam perjalanan lembaga antirasuah yang pernah begitu disegani ini. Gufron dituduh melanggar wewenang karena membantu proses mutasi seorang pegawai negeri sipil (PNS). 

Dewan Pengawas (Dewas) KPK akhirnya memutuskan bahwa Gufron bersalah dan menjatuhkan hukuman sedang atas pelanggaran tersebut. Namun, alih-alih menerima keputusan tersebut, Gufron justru melawan, memicu drama hukum yang berlarut-larut dan semakin memperburuk citra KPK.

Kasus Gufron dan Upaya Melawan Dewas KPK

Kasus ini bermula ketika Gufron diduga menggunakan wewenangnya untuk mengintervensi mutasi seorang PNS.  Dewas KPK menilai tindakan ini sebagai pelanggaran etik, karena dianggap menyalahi fungsi dan tugas seorang pimpinan KPK yang seharusnya menjaga integritas dan netralitas lembaga.

Namun, Gufron tidak terima dengan putusan Dewas. Ia mengambil langkah dramatis dengan membawa kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), meminta agar pemeriksaan Dewas ditunda. Langkah ini memunculkan tanda tanya besar di kalangan publik, seolah Gufron ingin menyeret Dewas ke ranah yang seharusnya berada di bawah kewenangan internal lembaga. Tidak cukup sampai di situ, Gufron bahkan melaporkan Dewas KPK ke pihak kepolisian, menuduh bahwa Dewas telah melampaui wewenangnya.

Meski demikian, Dewas tetap teguh pada putusan mereka. Setelah sidang panjang yang disertai drama, Dewas menjatuhkan hukuman sedang kepada Gufron. Meskipun hukuman ini tidak sampai mengguncang kinerja pemerintahan secara langsung, kasus ini jelas merusak citra KPK yang sudah lama kehilangan kepercayaan publik. Lembaga yang dulu disegani sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi kini kian kehilangan wibawa.

Kasus-kasus yang Mencoreng Nama KPK

Kasus Nurul Gufron hanyalah salah satu dari rangkaian panjang skandal di KPK yang telah meruntuhkan kepercayaan publik. Beberapa tahun terakhir, KPK menjadi sorotan tidak hanya karena kasus korupsi yang mereka tangani, tetapi juga karena ulah para pimpinan dan pegawainya sendiri. Kasus suap yang melibatkan petugas penjara KPK, korupsi anggaran perjalanan oleh pegawai KPK, hingga pimpinan KPK yang dipecat karena menjadi tersangka menerima suap dari koruptor, semuanya turut andil dalam menjatuhkan reputasi lembaga ini.

Mengapa KPK Begitu Terpuruk?

Apa yang menyebabkan lembaga yang dulu dianggap sebagai simbol pemberantasan korupsi ini terpuruk? Salah satu penyebab utamanya adalah perubahan Undang-Undang KPK pada tahun 2019. Revisi UU tersebut secara fundamental melemahkan KPK, terutama dalam hal independensi. Para pegawai KPK yang sebelumnya berstatus independen kini dijadikan pegawai negeri sipil (PNS), yang artinya mereka tidak lagi bebas dari pengaruh institusi lain dalam pengangkatan dan pemberhentiannya. Hal ini membuka celah bagi intervensi dari pihak eksternal, termasuk pemerintah.

Juga UU baru KPK memangkas wewenang KPK serta membuka pintu KPK bisa melakukan penghentian kasus yang sudah diproses, di mana sebelumnya KPK tidak boleh melakukan itu. Dengan membolehkan penghentian kasus, KPK menjadi kurang cermat dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga para koruptor bisa melawan. Seperti baru - baru ini 2 kasus korupsi diberhentikan oleh KPK.

Selain itu, proses pemilihan pimpinan KPK yang semakin kurang transparan juga menjadi faktor penentu. Pimpinan yang terpilih sering kali bukan yang terbaik atau paling berintegritas, melainkan sosok yang mampu memenuhi kepentingan politik tertentu. Akibatnya, mereka yang memegang kendali di KPK tidak lagi memiliki dedikasi penuh dalam pemberantasan korupsi, melainkan lebih condong pada agenda politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun