Di sebuah kota kecil yang damai, hiduplah seorang pria bernama Dimas, yang terkenal sebagai si ahli logika. Tak ada satu pun argumen yang bisa lolos dari analisanya. Setiap kali orang-orang berbincang, Dimas akan dengan cepat menunjuk kekeliruan dalam pernyataan mereka dan melancarkan kritik tajam.
Tidak peduli apakah mereka sedang berbicara tentang resep masakan, film terbaru, atau bahkan filosofi hidup---Dimas selalu hadir dengan analisis logis yang, menurutnya, tak terbantahkan.Suatu hari, di sebuah warung kopi, Dimas duduk bersama beberapa temannya. Obrolan mereka awalnya ringan, membahas cuaca yang aneh belakangan ini. Satu teman, Beni, berkata, "Aku rasa perubahan cuaca ini ada hubungannya dengan pemanasan global."
Dimas langsung menyerang. "Beni, kau tidak tahu apa yang kau bicarakan. Itu adalah fallacy of hasty generalization. Cuaca bisa berubah karena banyak faktor. Pemanasan global memang masalah besar, tapi tidak semua perubahan cuaca disebabkan oleh itu. Cobalah berpikir lebih logis, ya?"
Beni tersenyum kecut, seperti biasa. Semua teman Dimas sudah terbiasa mendengar ceramahnya, jadi tak ada yang berani membantah. Tentu saja, siapa yang berani membantah si ahli logika?
Namun, pada hari itu, ada seorang perempuan baru di meja, namanya Laras. Ia baru saja pindah ke kota kecil itu dan belum mengenal Dimas dengan baik. Setelah mendengar kritik Dimas, ia tersenyum dan berkata, "Wah, sepertinya kamu benar-benar pintar ya, Dimas. Logikamu sempurna sekali."
Dimas tersenyum puas, merasa dipuji. "Ya, aku selalu berusaha menggunakan logika dalam setiap aspek kehidupan. Karena tanpa logika, kita hanya seperti binatang yang bertindak tanpa pemikiran."
Laras mengangguk. "Tentu, tentu. Kalau begitu, aku ingin tanya. Jika semuanya harus logis, bagaimana kamu menjelaskan kenapa kita harus makan tiga kali sehari? Apakah itu tidak hanya kebiasaan budaya saja? Bukankah logika bisa bilang kita cukup makan saat lapar?"
Dimas merenung sejenak. "Makan tiga kali sehari adalah konvensi yang diterima luas. Tubuh manusia membutuhkan asupan yang teratur untuk menjaga metabolismenya tetap stabil."
"Tapi," Laras menyela, "bukankah konsep 'teratur' itu bisa berbeda-beda untuk setiap orang? Ada yang hanya makan sekali sehari, ada yang lima kali. Apakah kita harus mengikuti aturan ini hanya karena itu umum?"
Dimas tertegun, tapi cepat-cepat menguasai diri. "Itu adalah reductio ad absurdum. Tentu saja kita harus menggunakan logika dan bukti ilmiah, bukan hanya kebiasaan. Tubuh manusia telah dipelajari selama ribuan tahun."
Laras tersenyum. "Ah, jadi kita harus selalu mengikuti apa yang sudah dipelajari selama ribuan tahun? Tapi kenapa kamu tadi menyalahkan Beni ketika dia menyebut pemanasan global? Itu juga hasil penelitian ilmiah, kan?"
Dimas mendadak merasa tidak nyaman. "Itu... ya, tapi kamu tidak bisa membandingkan. Pemanasan global adalah fenomena besar, dan cuaca adalah sistem yang sangat kompleks..."
"Seperti tubuh manusia?" potong Laras lagi dengan nada tenang, tanpa berusaha menyudutkan.
Dimas merasa ada yang salah dalam percakapan ini, tapi ia tidak bisa menemukan celah logis untuk membantahnya. Teman-teman lainnya mulai saling pandang, mereka tampak senang melihat si ahli logika yang biasanya tak terkalahkan mulai goyah.
"Baiklah," kata Dimas sambil merapikan duduknya, "itu hanyalah perbandingan tak tepat. Kamu mencoba mengaitkan dua hal yang tidak sebanding."
Laras mengangkat alis. "Oh, jadi logika bisa saja tidak tepat ya? Jadi kamu juga bisa salah?"
Dimas tercekat. Kata-kata Laras sederhana, tapi menampar harga dirinya yang selama ini ia banggakan. "Tentu, aku manusia. Siapa pun bisa salah," katanya pelan, mencoba tetap tenang.
"Kalau begitu, kenapa kamu selalu bersikap seolah-olah kamu tidak pernah salah? Mengkritik semua orang dan memastikan semua hal yang kamu katakan adalah kebenaran mutlak?"
Dimas ingin membantah, tapi tidak ada kata yang muncul. Kali ini, bukan hanya logika yang berperan---Laras telah menyentuh sesuatu yang lebih dalam: kesombongan Dimas. Ia tak pernah sadar bahwa selama ini, ia bukan hanya membangun argumen logis, tapi juga benteng ego yang tak bisa disentuh siapa pun.
Laras tersenyum lagi, tetapi kali ini senyumnya lembut, bukan menyindir. "Dimas, logika itu penting, tapi ada hal-hal lain yang sama pentingnya dalam hidup. Empati, misalnya. Kadang, meskipun logis, kamu tetap bisa menyakiti orang lain jika terlalu keras kepala mempertahankan logikamu."
Dimas menunduk. Selama ini, ia menganggap dirinya sebagai penjaga logika, sang pelurus kesalahan berpikir orang-orang di sekitarnya. Namun, di tengah kesibukannya membuktikan semua salah, ia lupa bahwa dirinya juga manusia---yang bisa salah, yang bisa menyakiti, dan yang mungkin juga butuh kritik.
"Laras," katanya akhirnya, "mungkin kamu benar."
Semua orang di meja terdiam. Tidak ada yang menyangka **si ahli logika** bisa mengaku salah, walau hanya sedikit. Hari itu, Dimas pulang dengan perasaan aneh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menyadari bahwa logika tak selalu harus menang, dan kadang, lebih baik berhenti untuk mendengarkan orang lain sebelum menilai mereka dengan cepat.
Di kamar tidurnya, Dimas duduk di depan cermin, merenung. Siapakah aku sebenarnya? Ahli logika atau sekadar orang yang lupa bagaimana menjadi manusia?
Dan untuk pertama kalinya, Dimas merasa tidak tahu jawabannya.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI