Dalam era sosial media ini seringkali tak bisa diduga apa yang jadi topik hangat berita. Sepotong kata dari seseorang bisa menjadi viral ke seantero jagat raya.
Contoh konkrit adalah kasus Agnes Mo, artis multi talenta yang sudah melanglang bukan hanya ditingkatkan nasional tapi juga Internasional.
Ungkapan "Saya tak punya darah Indonesia" jadi ajang perdebatan pro - kontra.Â
Mulanya penulis pikir ini hanya debat picisan, tapi sampai dibahas hampir semua media utama dan bahkan dikomentari tokoh dan profesor maka nampaknya hal ini rupanya bukan guyonan belaka. (Kompas.com)
Ya, rupanya sepotong kata Agnes Mo itu dijadikan banyak orang sebagai ukuran kadar nasionalisme si artis ini.
Kenyataan ini dari sudut tertentu sesungguhnya sangat memprihatinkan. Nampaknya kadar dan indikator penilaian nasionalisme kita sangatlah sumir dan tak bermutu.
Mengapa? Apa sebenarnya yang bisa dijadikan indikator diri sebagai pembela nasionalisme sejati?
Jawaban pertanyaan ini adalah bagian dari jawaban Agnes Mo untuk membela diri. Ketika di suatu acara ada yang menganjurkan dirinya melepaskan kewarganegaraan Indonesia, Agnes pun menjawab dengan pertanyaan, "Apa yang sudah dibuat oleh yang menganjurkan itu untuk negara?". (detik.com). Ungkapan ini sudah diungkapkan oleh John F Kennedy, dalam frasa yang berbeda.
Jika orang yang mengusulkan pencabutan itu ada dalam acara tersebut, penulis hampir yakin pasti orangnya akan gelagapan. Karena yang menanyakan itu adalah sang bintang yang sudah bertahun - tahun memasukkan unsur keindonesiaan dalam pagelaran seni dan panggung dunia. Dia sudah secara gamblang menunjukkan kecintaan dan rasa bangganya sebagai putri bangsa Indonesia.
Tentu alasan yang sama menjadikan dirinya diundang ke Istana sebagai representasi anak muda yang berprestasi dan berkarya untuk bangsa.
Rasa nasionalisme juga bisa ditunjukkan dengan sikap kritis atas situasi yang mengancam eksistensi bangsa ini.Â
Dalam hal ini penulis tidak setuju dengan ungkapan, "Right or wrong is my country". Cinta buta seperti ini akan mengakibatkan para perusak bangsa menjadi merajalela.
Terkadang justru rasa malu karena menjadi bagian dari bangsa yang dinilai kurang menghargai perbedaan, radikal, intoleran dan koruptif adalah energi yang diperlukan untuk memperbaiki bangsa ini menjadi lebih baik.
Tentu saja sikap kritis dalam hal ini tidak bisa disamakan dengan sikap nyinyir yang mencaci dan mengkritisi tanpa tawaran solusi.
Kembali ke kasus Agnes Mo. Mungkin ada pilihan kata yang kurang tepat dari Agnes dalam mengungkapkan asal usul dirinya, tapi jelas juga ungkapan itu tidak bisa dijadikan patokan bahwa dirinya tidak cinta Indonesia.Â
Terkadang memang yang terjadi adalah penilaian bukan apa yang dikatakan tapi siapa yang mengatakan nya. Hal itu coba Penulis ungkapkan dalam status Facebook baru - baru ini.Â
Karena bisa saja ungakapan itu ditulis, "Aku darah Dayak, tidak punya darah Indonesia.". Karena memang masing - masing diri kita sudah diwarisi darah nenek moyang yang sudah ada sebelum negara yang disebut Indonesia itu lahir.
Jadi nasionalisme pada negara dan bangsa bukan didasarkan oleh asal darah, apalagi asal keturunan, suku dan agama tapi dari rasa cinta yang diungkapkan dengan karya nyata dan sikap tidak cinta buta...
Darah itu sama merah lho...***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H