Maraknya kebakaran hutan dan lahan bukan lalu memang menyengsarakan kita semua. Salah satu cara agar hal itu tidak terulang adalah penegakkan hukum.Â
Namun rupanya ranah penegakan hukum ini tidaklah mudah untuk diterapkan karena selalu ada saja pihak yang dianggap sebagai korban yang tidak bersalah.
Hal itu terjadi di Kalimantan Barat, khususnya di Sintang. Ada 6 orang peladang yang tertangkap tangan sedang melakukan pembakaran di lahan ladang mereka dan kini sedang menghadapi pengadilan. (Tribun Pontianak)
Tentu saja kasus ini menjadi heboh karena keenam peladang itu, yang kebetulan semuanya beretnis Dayak, oleh banyak pihak dianggap sebagai korban. Reaksi atas penegakan hukum itupun lalu menuai kritik, bahkan demo damai oleh masyarakat adat Dayak.Â
Untuk masyarakat Dayak, hal ini bukanlah masalah kecil. Jika keenam peladang tadi dihukum maka berarti bahwa hal ini menjadi awal bencana bagi para peladang dan boleh dikatakan mengancam eksistensi orang Dayak sebagai masyarakat Adat.
Mengapa?
Penulis kebetulan suku Dayak. Orang tua penulis pun, walau beliau seorang guru, melakukan hal yang sama, melakukan ladang berpindah, melakukan pembakaran lahan untuk pertanian. Ini adalah tradisi yang sudah diwariskan turun temurun.Â
Kriminalisasi atas para peladang ini mengancam eksistensi masyarakat Dayak. Hal ini sangat erat hubungannya dengan segala seremoni adat dan kultur yang mengikuti kegiatan berladang tersebut.Â
Setiap tahap dalam melakukan kegiatan perladangan selalu dimulai dengan suatu seremoni dan acara adat: upacara mencari lahan, upacara mulai menebas dan menebang, upacara ketika padi mulai tumbuh dan saat panen.Â
Semua upacara itu menunjukkan bahwa masyarakat adat Dayak sama sekali tidak bermaksud merusak alam, apalagi menyebabkan sengsara bagi orang lain. Upacara dan seremoni itu adalah cara masyarakat adat Dayak untuk menunjukkan respek dan hormat mereka pada alam dan syukur atas berkah yang mereka terima dari kegiatan perladangan tersebut.
Dalam melakukan kegiatan juga mereka sudah tahu cara agar tidak menyebabkan bencana.Â
Misalnya pada saat membakar, mereka tahu persis supaya api tidak menyebar dengan tidak terkendali. Mereka akan membuat sekat bakar, memperhatikan arah angin dan menjaganya dengan seksama.Â
Juga mereka tidak akan melakukannya di tengah musim kemarau tapi saat akhir kemarau dan musim hujan telah tiba supaya padi dan tanaman yang ditanam bisa tumbuh dengan baik.
Kembali pada peristiwa penangkapan keenam peladang tersebut di atas. Penulis berharap para penegak hukum berlaku bijak dan adil.
Penegakan hukum memang diperlukan, namun perlu juga kebijakan. Jangan sampai hal ini menjadi preseden bahwa pihak berwenang melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Dayak. Kami Peladang, bukan kriminal! ***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H