Hiruk pikuk mengenai transparansi anggaran menjadi trending karena kasus hebohnya anggaran Pemda DKI.
Adalah William dari partai baru PSI yang mengangkat isu panas ini. Tentu jadi heboh karena ada mata rencana anggaran yang mencantumkan pembelian lem Aibon sampai miliaran rupiah. Angka fantastis untuk produk yang jelas tidak penting.
Seperti hal-hal heboh lainnya langsung melahirkan kontroversi dan blok diskusi panas pembela dan pembenci.
Ada yang mengirimkan rangkaian bunga dan ada yang melancarkan caci maki.
Untuk William sendiri? Selain pujian dia juga langsung mendapat ancaman karena dilaporkan ke dewan etik BK DPRD. Kalau ini berlanjut posisi William bisa terancam jika dewan etik ini memutuskan dirinya bersalah.
Namun rupanya William sudah menyiapkan mental. Dia tidak takut pada ancaman tersebut, dan bahkan bersedia mempertahankan jabatannya dengan sikap nya ini. (Kompas.com)
Rasanya ini seperti deja vu, suatu peristiwa yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Hanya waktu itu berlangsung di ranah eksekutif.
Ya, angin keterbukaan dan transparansi mulai berhembus di DKI ketika Ahok mulai masuk ke Balai Kota Jakarta. Transparansi yang dia anut memang dianggap ekstrim karena dia sengaja menyiarkan acara - acara pertemuan penting ke YouTube sehingga semua orang bisa melihat proses perencanaan dan penganggaran di Pemda DKI.
Tentu kita ketahui akhir dari gebrakan transparansi ini. Ahok menjadi terkenal karena transparansi tapi juga terjerembab karena transparansi yang sama.
Ya, dia terpaksa mendekam di balik jeruji karena rekaman pembicaraannya dengan masyarakat di kepulauan Seribu yang diunggah di YouTube. Dia dianggap menghina salah satu agama karena pernyataannya di acara tersebut.
Jika seandainya Ahok tidak menganut dan mempercayai transparansi mungkin sampai saat ini dia masih tenang berada di Balai Kota DKI Jakarta.
Ya, nampaknya sikap transparan bagai pedang bermata dua. Satu sisi sangat penting untuk memperbaiki carut marut birokrasi, tapi bisa juga menyebabkan sang pencetus transparansi terancam.
Lalu apakah itu berarti transparansi tidak perlu diperjuangkan?. Tentu saja tidak. Hal itu harus dan tetap menjadi usaha yang harus terus didorong dan diperjuangkan.
Resiko yang ada pada mereka yang memperjuangkan transparansi justru dapat menjadi pemisah yang jelas antara sang Pahlawan atau pecundang.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI