Sumber gambar: liputan6.com
Setelah beredar laporan kubu Prabowo ke MK, banyak komentar dan analisis mengenai dokumen tersebut.
Kebanyakan memang menyangkut bukti - bukti yang dianggap kurang kuat dalam tuntutan kecurangan Terstruktur Sistematis dan Masif yang mereka ajukan.Â
Namun rupanya ada satu kutipan yang mengundang kontroversi seperti yang dikutip oleh detik.com:
"Berkaitan dengan pemerintahan yang otoriter dan Orde Baru itu, melihat cara memerintah Presiden Joko Widodo, maka sudah muncul pandangan bahwa pemerintahannya adalah Neo-Orde Baru, dengan korupsi yang masih masif dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil sebagai ciri kepadanya,"Â
Kutipan dari artikel ini menjadi alasan dari kubu Prabowo untuk menguatkan tuduhan pada Jokowi bahwa pemerintah saat ini tidak demokratis.
Sebenarnya jika kita membaca langsung artikel yang ditulis oleh guru besar hukum dan Indonesianis dari Melbourne University Law School, Prof Tim Lindsey, kutipan yang diambil oleh tim hukum Prabowo ini agak dipaksakan dan diluar konteks artikel tersebut.
Dalam artikel yang dirilis di East Asia Forum tersebut, Tim Lindsey sejatinya menyoroti dan mengkritisi kejadian aparat yang menutup paksa acara pemutaran film dan diskusi di kantor LBH Indonesia  mengenai pembunuhan massal berkaitan dengan kegiatan PKI  pada tahun 1965 - 1966 yang dilakukan oleh Orde Baru.Â
Tindakan aparat itu karena tekanan dari organisasi masyarakat garis keras yang menuduh pemutaran film dan diskusi itu ingin membangkitkan paham komunisme di Indonesia.
Lindsey dalam hal itu membandingkan kejadian penutupan acara tersebut dengan tabiat Soeharto di jaman Orde Baru yang bermusuhan dan menekan kegiatan NGO dan mengabaikan kebebasan berorganisasi serta berdiskusi.
Dalam analisis nya Profesor dari Melbourne ini menyoroti bahwa Jokowi dengan posisi nya sebagai presiden dari kalangan sipil sangat berbeda dengan posisi Presiden - presiden sebelumnya.Â
Dalam hal ini, Jokowi dilihat punya banyak kelemahan, yakni: bukan dari kalangan militer dan tidak punya akar kuat di politik serta tidak punya trah dari politikus besar di Indonesia.Â
Latar belakang "rakyat jelata" Jokowi ini dilihat pengamat ini membuat pilihan yang dipunyai oleh Jokowi sangatlah sedikit. Padahal Jokowi harus berhadapan dengan lawan - lawan politiknya yang punya posisi tawar secara politis dan militer yang lebih kuat.
Apalagi saat ini, Jokowi mendapatkan tekanan dari kelompok Islam garis keras yang dijadikan alat politik oleh kubu politik tertentu.Â
Dalam artikel ini diberikan contoh bagaimana kasus "Ahok" menjadi serangan tak langsung pada pemerintah Jokowi oleh kelompok Islam garis keras ini.
Situasi inilah yang dikhawatirkan akan membuat Pemerintah Jokowi sulit menguasai panggung politik Indonesia.Â
Juga kekhawatiran dengan merangkul para mantan petinggi militer di jaman Orde baru ke dalam pemerintahannya, maka Jokowi bisa terjebak oleh kebijakan yang mewarnai masa Orde baru dalam berhadapan dengan masyarakat sipil.
Justru menurut artikel ini karena dalam Pilpres kali ini, Jokowi akan berhadapan dengan Prabowo yang punya kaitan erat dengan keluarga Orde Baru maka masyarakat sipil tidak punya pilihan selain mendukung Jokowi walau mereka merasa "dikhianati".Â
Kembali kepada kutipan yang diambil oleh tim hukum Prabowo untuk memperkuat argumentasi mereka bahwa Pilpres kali ini curang, sebenarnya sangat tidak cocok.
Bahkan bisa dikatakan, dengan mengambil sepotong kutipan tersebut, mereka telah dengan sengaja membelokkan arti sebenarnya dari keseluruhan konteks artikel.
Dalam artikel tersebut justru ditunjukan bahwa walau ada kelemahan di pemerintahan Jokowi, tapi masyarakat sipil mau tak mau memilihnya karena kalau mendukung Prabowo akan lebih buruk lagi akibatnya.
Kutipan yang diambil sebagai argumentasi untuk melawan Jokowi ini bisa menjadi bumerang bagi tim hukum Prabowo jika kita melihat konteks sebenarnya.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H