Untuk Prabowo, menerima kekalahan pastilah menyakitkan, apalagi ini sudah ke tiga kalinya ia mencoba berkontestasi sebagai Cawapres dan Capres. Tapi itulah konsekuensi dari suatu persaingan.Â
Seharusnya ketika ia memutuskan untuk maju bersaing, dirinya telah menyiapkan diri untuk menerima segala situasi yang ada, termasuk kekalahan.
Namun rupanya tidaklah demikian. Ini adalah kali kedua Prabowo menolak hasil pemilihan. Pada tahun 2014 dia pun membawa perkara kecurangannya ke MK. Pada saat itu dia kalah, karena tidak bisa membuktikan adanya kecurangan yang secara signifikan membuat angka kekalahan menjadi kemenangan.Â
Berdasarkan pengalaman itu, mereka kemudian enggan untuk membawa kecurangan ke MK lagi. Dengan persentase kekalahan yang lebih besar dari Pilpres 2014, tentu lebih sulit lagi mengungkapkan bukti - bukti kecurangan tersebut.
Tapi apakah dengan cara protes di jalanan melalui People Power akan lebih efektif untuk memperjuangkan kemenangan?
Tentu saja tidak. Bahkan resikonya justru menjadi berlipat ganda.Â
Walaupun menyatakan pendapat adalah hak setiap warga negara, namun apa yang diperjuangkan lewat gerakan masa itu jelas bertentangan dengan hukum yang ada. Jelas gerakan masa dengan tuntutan dan klaim kemenangan sebagai Presiden adalah melanggar undang - undang.
Selain resiko dianggap sebagai kejahatan, tentu saja potensi kerusuhan dan konflik horizontal termasuk dalam konsekuensi yang tidak kita harapkan.
Melihat ini semua, terutama apa yang telah disampaikan oleh Yusril, kalau memang mau tetap dalam koridor hukum, tidak ada jalan lain: kecurangan harus dibawa ke Bawaslu, dan ketidaksetujuan atas hasil Pilpres diputuskan di MK. Selain kedua cara itu adalah kejahatan.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H