Sumber gambar: arah.com
Heboh mengenai akan berakhirnya ijin FPI menjadi perdebatan dan viral dalam media masa dan media maya. Karena sepak terjangnya, organisasi masyarakat ini memang sudah menjadi banyak perbincangan, bukan hanya saat ini. Pro dan kontra akan kehadiran merekapun sudah sering diperdebatkan.Â
Saat ini menjadi pertanyaan besar adalah, apakah dengan berakhirnya ijin FPI sebagai Ormas maka riwayat Ormas ini sudah pasti mati?
Menurut penulis, pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua hal. Sebagai organisasi masyarakat kemungkinan FPI secara admistrasi akan berakhir. Namun sebagai semangat dan fungsi maka  semangat "FPI - FPI" tidak akan pernah mati. Mengapa?
Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan mengenai hal ini di sini.Â
Ormas seperti FPI adalah organisasi yang lahir setelah jatuhnya Orba. Pada masa Orba, organisasi yang berlatar belakang identitas tertentu dan dianggap militan, apalagi yang berhubungan dengan kelompok agama tidak mendapatkan tempat.Â
Saat itu ormas yang bisa hidup adalah organisasi yang dianggap bisa mendukung ideologi pemerintah seperti halnya Pemuda Pancasila dan organisasi sejenis.
Namun dengan kejatuhan Orde Baru 1998, maka ibarat membuka kotak Pandora, segala macam organisasi pun bermunculan. Organisasi - organisasi yang dulunya terkekang, sekarang bermunculan bagai cendawan di musim hujan.
Sayangnya, di antara ormas - ormas yang lahir itu, ada juga yang memiliki prinsip dan cara-cara yang non- dan anti-demokratis demi mewujudkan kepentingannya.Â
Kelompok-kelompok ini biasanya memiliki beberapa bentuk, yaitu kelompok religius militan, kelompok yang main hakim sendiri dengan kekerasan, kelompok muda militan, milisi-milisi yang rawan menggunakan kekerasan, dan kelompok etnonasionalis rasis atau radikal.
Kemunculan kelompok-kelompok ini terjadi karena negara dianggap lemah dan tidak dapat memenuhi fungsi-fungsinya, seperti perlindungan, keadilan, hukuman, dan lain-lain.Â
Misalnya, ketika terdapat pelanggaran moral tertentu, kelompok-kelompok masyarakat ini memberikan hukuman dengan tindakan sendiri di luar sistem hukum negara.Â
Karena masih dalam eforia reformasi maka nampaknya pemerintah saat itu menjadi gamang untuk mendisiplinkan mereka. Walau sebenarnya secara mendasar semangat mereka bertentangan dengan nilai kebhinekaan dan toleransi yang kita yakini. Ketakutan pemerintah dituduh anti demokrasi menjadikan organisasi seperti di atas tumbuh subur.
Di beberapa kasus, kelahiran mereka justru dibidani oleh aparat dan kelompok politik tertentu. Seperti kita ketahui kelahiran ormas yang berbau PAM Swakarsa adalah bentukan dari aparat pada saat krisis 1998 untuk menghadapi mahasiswa dan masyarakat sipil yang kritis pada pemerintah saat itu.
Bahkan alih - alih menutup mereka , justru kehadiran organisasi ini kemudian dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk kepentingan politik , kelompok dan ekonomi mereka.Â
Kita semua tahu ormas - ormas ini sering dijadikan sebagai "institusi keamanan" atau body guard untuk menjaga tokoh - tokoh yang bisa membayar mereka.
Para petualang politik pun menggunakan ormas ini  sebagai kaki tangan dan tameng untuk mencapai ambisi politik mereka.Â
Kita lihat saja bagaimana FPI ikut terlibat dalam kancah politik. Ormas penjaga moral ini rupanya memang sejak awal menerjunkan dirinya pada dunia politik.Â
Menurut catatan Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean dalam Politik Syari'at Islam: Dari Indonesia ke Nigeria (2004) mencatat FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekitar Soeharto, khususnya Prabowo Subianto yang merupakan menantunya sekaligus seorang perwira tinggi militer pada tahun 1998. Setelah Prabowo diberhentikan dari TNI terkait penculikan aktivis, FPI mengalihkan dukungannya kepada Jenderal Wiranto.
Dukungan FPI terhadap Wiranto terlihat dalam aksi ratusan milisi FPI ketika menyatroni kantor Komnas HAM untuk memprotes pemeriksaan terhadap Jenderal Wiranto dalam kasus Mei 1998.Â
Sementara kedekatan dengan ABRI/TNI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukan FPI melawan mahasiswa penentang RUU Keadaan Darurat/RUU PKB yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada tanggal 24 Oktober 1999.
Dukungan FPI terhadap figur politik nasional juga ditunjukkan saat pemilu 2004. Saat itu FPI kembali mendukung Wiranto sebagai calon presiden bahkan mengirimkan dai-dai ke daerah-daerah untuk mendiskreditkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pesaing terberat Wiranto.
Di tahun 2019 ini, kembali FPI menunjukan kiprahnya di dunia politik dengan mendukung Prabowo Subianto. Keterpihakan ini mudah di mengerti dengan melihat lintasan sejarah hubungan dekat sejak awal Ormas ini dengan Prabowo seperti telah diungkapkan di atas tadi.Â
Melihat semua ini, maka hal yang Penulis sampaikan di atas tadi bahwa semangat "FPI tidak pernah mati" memang mempunyai argumentasi cukup kuat.
Seandainya pun sebagai organisasi resmi, FPI bisa ditutup tapi semangat dan fungsi ormas seperti FPI pasti akan tetap hidup.Â
Harap juga diingat di sini, bukan hanya FPI yang punya warna militan dan ekslusif di negara ini. Masih banyak ormas lain sejenis yang masih eksis.Â
Jadi menghentikan FPI bukan hanya mencabut ijin.Â
Ya, selagi pemerintah masih gamang untuk menindak tegas ormas sejenis  dan jika masih ada pejabat, aparat serta politikus yang membekingi dan memanfaatkan mereka, maka jangan harap semangat "FPI - FPI" ini akan mati. ***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H