Korban yang jatuh akibat Pemilu semakin bertambah. Data terakhir dari KPU sudah ada 225 orang petugas Pemungutan Suara dengan ribuan lagi yang sedang sakit.Â
Angka yang sangat besar untuk suatu perlehatan Demokrasi damai.Â
Tentu kita tidak ingin kejadian serupa akan terjadi lagi di kemudian hari. Lalu apa solusi yang tepat untuk menanggulangi hal ini?
Menurut Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) UU Pemilu 7/2017 perlu direvisi. Selain untuk mencegah korban para petugas Pemilu di lapangan, salah satu alasannya, menurut dia, demi terselenggaranya pemilu yang murah dan efisien.Â
"Bukan hanya sekadar e-counting, tapi e-voting yang bisa dimulai pada pilkada serentak mendatang, karena dapat menghemat tenaga dan biaya hingga triliunan rupiah dengan tidak diperlukannya lagi kotak suara, surat suara, tinta, bilik suara, petugas, saksi maupun pengawas TPS yang jumlah hingga jutaan," kata Bamsoet dalam keterangan tertulis, Jumat (26/4/2019).
Sudah cukup lama ide melakukan e-voting diusulkan. Bahkan LIPI beberapa tahun lalu sudah memperkenalkan aplikasi, sistem dan cara menggunakan E-Voting ini.
Sebenarnya sudah ada daerah yang punya pengalaman dan telah melakukan E Voting tersebut.
Hingga 2014, sudah empat daerah yang bersentuhan dengan e-voting, yaitu Kabupaten Jembrana, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten Bantaeng.Â
Tiga daerah pertama sudah menerapkan e-voting meskipun baru dalam lingkup pemilihan kepala dusun (pilkadus-khusus di Jembrana) dan pemilihan kepala desa (Pilkades).Â
Sementara, Kabupaten Bantaeng bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin baru sebatas menguji coba 42 mesin e-voting dalam pemilukada pada 2013.
Tantangan utama yang selalu dikhawatirkan adalah masalah yang serupa dengan tekhnologi online lainnya, yakni peretasan, pemeliharaan peralatan dan pengetahuan atau gagap teknologi. Manipulasi data juga adalah bagian dari masalah E-Voting ini.
Contoh akan tantangan ini juga sudah ada.Â
Misalnya, KPU India menyatakan sistem e-voting yang mereka gunakan tidak dapat ditembus atau diretas. Tapi sebuah penelitian menemukan sejumlah kelemahan sistem yang dipakai. Sistem itu dapat dimanipulasi orang yang bisa mengakses alat e-voting dengan cara memasukan sebuah alat.Â
Filipina juga menghadapi masalah karena yang mengendalikan perusahaan penyedia mesin e-voting. KPU Filipina seolah menjadi 'tukang stempel' saja.Â
Namun dengan segala tantangan ini sebenarnya penerapan E-voting tetap bisa dilakukan. Apalagi kita juga sudah punya pengalaman dari ujicoba secara lingkup kecil seperti sudah dicantumkan di atas.
Ditambah lagi tekhnologi infrastruktur informasi dan pengetahuan masyarakat akan dunia tekhnologi online juga saat ini sudah relatif bagus dari sebelumnya.Â
Belajar dari berlarutnya waktu perhitungan yang bisa menimbulkan masalah politik dan sosial nampaknya perlu juga jadi pertimbangan tambahan dari penerapan E-voting yang memang lebih efektif dan lebih cepat.
Dalam situasi ini, keinginan politik lah yang paling penting. Kalau ketua DPR sudah memberikan signal persetujuannya, maka berarti kendala utama ini sudah relatif bisa diatasi.
Jadi Tunggu apalagi? Apakah perlu ada korban yang lebih besar lagi agar kita menerapkan E-Voting ini?***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H