Maraknya hoax benar-benar mengkhawatirkan. Penulis kira setelah selesai waktu pencoblosan dan hasil prediksi quick count dipublikasikan maka semua menjadi reda.Â
Namun harapan tersebut rupanya tidak terwujud. Dengan adanya pihak yang tidak mempercayai hasil prediksi quick count dan lebih percaya real count survei internal maka serangan hoax berlanjut, bahkan semakin parah.
Sekarang serangan hoax itu semakin fokus pada usaha mengacaukan dan memanipulasi hasil suara dan mendeligitimasi KPU dan Bawaslu. Tujuannya jelas untuk menggagalkan Pemilu sehingga ada celah untuk menuntut hasil Pemilu.
Hal yang membuat miris adalah hoax ini justru dibuat dan disebarkan oleh kalangan terdidik. Kalangan yang seharusnya lebih bisa obyektif dan rasional.
Hal ini penulis alami sendiri. Teman dan kenalan yang penulis tahu adalah orang terdidik tapi status media sosial mereka sama sekali tidak menggambarkan hal itu.Â
Hal yang jelas irasional pun mereka tulis dan sebarkan. Awalnya penulis tidak percaya dan mengira account sosial medianya sedang di hack, tapi ternyata tidak.
Rupa - rupanya hoax bagi sebagian kalangan tersebut justru menjadi "alat perang". Maksudnya mereka tahu itu hoax, kabar bohong, tapi dengan mau dan tahu sengaja menyebarkannya dengan alasan, "ini adalah perang, hoax adalah senjata yang bisa dipakai untuk mengalahkan musuh".Â
Jadi hoax bagi mereka sebagai senjata atau bom yang memang sengaja disebarkan untuk menghancurkan musuh.
Dengan pendapat ini mereka sama sekali tidak merasa bersalah menciptakan dan menyebarkan hoax, bahkan bagi mereka perbuatan tersebut semacam "jihad" untuk membela kebenaran menurut versi mereka.Â
Hal ini sungguh berbahaya. Karena dengan pandangan seperti ini, mereka bagai kelompok teroris yang tidak peduli akan korban - korban tidak bersalah  yang terjadi akibat pembuatan dan penyebaran hoax tersebut.
Penulis melihat masalah hoax ini semakin hari semakin membahayakan. Apalagi sudah terbukti ada kelompok yang sengaja merancang untuk memproduksi dan menyebarkan nya.Â