Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Keputusan MK Menunda Pengumuman Quick Count Berisiko Penyebaran Hoaks

16 April 2019   15:00 Diperbarui: 16 April 2019   17:00 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MK sudah mengetok palu. Dalam keputusannya MK menegaskan larangan untuk menyebarkan quick count sebelum pukul 15.00 WIB. Bagi yang melanggar, akan dipidana 18 bulan penjara.

Ini adalah jawaban MK atas tuntutan beberapa lembaga survei dan stasiun Televisi atas Undang - undang Pemilu Pasal 449 ayat 5:

Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.

Alasan utama penolakan ini adalah  kondisi geografis Indonesia yang terbagi dalam tiga zona waktu.

Menurut MK, pembatasan itu tidaklah dapat dimaknai bahwa ketentuan tersebut telah menghilangkan hak masyarakat untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi berkenaan dengan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu.

"Dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan asas dalam Pasal 22E UUD 1945, kemurnian suara pemilih, terutama untuk pemilih yang sedang memberikan suaranya di wilayah Indonesia bagian barat yang mana penyelenggaraan pemilunya lebih lambat 2 (dua) jam dari Indonesia bagian timur dan lebih lambat 1 (satu) jam dari Indonesia bagian tengah, harus tetap dijaga karena pemungutan suaranya belum selesai dilaksanakan," ungkap Majelis Hakim Konstitusi MK.

Memang dari pengalaman di lapangan, jika pengumuman Quick Count sudah langsung diumumkan begitu selesai pencoblosan di Indonesia Bagian Timur, masyarakat yang ada di Bagian Indonesia Tengah dan terutama Indonesia bagian barat seperti kurang bersemangat untuk mencoblos jika hasil Quick Count sudah diumumkan siapa yang kalah dan menang. 

Bahkan para petugas atau saksi partai di TPS seringkali meninggalkan TPS mereka begitu tahu siapa yang menang.

Tentu setiap hal ada ekses positif dan negatifnya. 

Akibat negatif seperti yang disampaikan di atas menurut Penulis, sebenarnya hal yang lebih kecil dibandingkan dengan dibatasi nya hak warga untuk mengetahui lebih cepat hasil pemilihan yang menjadi hak mereka sebagai dampak  keputusan MK tersebut.

Juga sebenarnya, sebesar apa ekses negatif di atas,  juga belum jelas apakah cukup signifikan atau hanya kejadian dibeberapa tempat saja.

Dengan keputusan MK ini esensi Quick Count sebenarnya menjadi hilang. Informasi yang secepatnya perlu diketahui oleh masyarakat menjadi terhambat. 

Sebenarnya tujuan utama Quick Count adalah bukan untuk memenuhi keinginantahuan masyarakat. Tetapi lebih sebagai bentuk pengawasan masyarakat terhadap kemungkinan adanya pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam proses pemilihan. 

Walaupun, hasil resmi adalah real count atau hasil perhitungan resmi dari KPU, dengan adanya hasil Quick Count yang memang adalah hasil hitungan berdasarkan pendekatan ilmiah, hasil  perhitungan tersebut bisa dijadikan patokan hasil sebenarnya. 

Sehingga jika ada terjadi kecurangan dalam proses perhitungan akan ketahuan, sebab walaupun ada selisih atau margin of error dari perhitungan Quick Count, prosentase nya sangat lah kecil.

Dengan ditundanya pengumuman hasil quick count, selain merugikan hak tranparansi pada masyarakat, juga ada resiko tersebar nya hoax hasil hitungan. 

Karena pasti ada orang-orang yang sengaja memanfaatkan gap waktu pengumuman ini dengan mengeluarkan hasil Quick count palsu. Tujuannya pasti untuk mengacaukan dan memprovokasi masyakarat. Situasi resiko ini didukung oleh kondisi sosial media yang memang up date beritanya dalam hitungan detik.

Walaupun ada ancaman pidana terhadap mereka yang menyebar kan hasil Quick Count sebelum waktunya, tapi  sejauh penulis mengerti, hal itu hanya dikenakan pada lembaga penyiaran resmi. 

Dalam hal ini, penyebaran hoax justru sering menggunakan gerakan Lone wolf atau individu yang tidak terikat pada lembaga resmi sehingga agak sulit dituntut.

Tentu dengan adanya keputusan MK ini, kita harus tunduk dan patuh akan aturan tersebut. Namun hendaknya juga pihak terkait  harus mengantisipasi resiko - resiko yang mungkin terjadi dengan adanya keputusan itu. Terutama penyebaran hoax hasil Pemilu yang bisa berisiko pada kekacauan dan kerusuhan***MG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun