Ingin tertawa, karena ada orang begitu berani berbicara di depan media dengan angka-angka yang ketika ditanya bagaimana cara mendapatkan angka itu, dengan enteng berkata, "ya seperti cara survei yang biasa". Tujuan survei internal itu supaya ada perimbangan dari hasil survei yang mengatakan kubunya kalah. Suatu jawaban lugu dan lucu.
Namun tidak ada keterangan mengenai metode yang dipakai. Juga kapan persisnya survei dilakukan.Â
Hasil survei pun menimbulkan tanda tanya karena semua pemilih sudah pasti akan pilihannya. Tidak ada lagi angka Undecided Voters serta hasil prediksi sudah 100% dengan tanpa terdapat margin of error.
Yang penulis bayangkan angka - angka muncul dari utak-atik angka seperti orang sedang menebak-nebak makna mimpi ketika akan memasang angka judi.
Namun walau begitu banyak tanda tanya dari angka survei internal tersebut, masih banyak yang percaya. Mereka justru menilai bahwa hasil survei banyak lembaga survei independen sebagai hasil rekayasa.
Pilpres kali ini memang rasanya sebagai titik terendah atau titik nadir dari rasionalitas, integritas dan fairness di dunia perpolitikan kita. Virus irasionalitas, hoax, kampanye hitam dan fitnah begitu cepat menyebar.Â
Sampai pada tahap ini, penulis jadinya bertanya-tanya apakah hasil survei yang tidak bisa dipertanggungjawabkan metode dan rasionalitasnya tidak bisa dikategorikan sebagai hoax yang bisa dituntut secara pidana? Karena jelas, hasil survei seperti ini bisa menimbulkan keresahan bahkan kerusuhan.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H